Sekilas tentang Tes Potensi Akademik
Kecerdasan (IQ) merupakan prediktor yang efektif terhadap performansi individu dalam bekerja, baik dalam seting pendidikan/akademik atau lingkungan kerja. Untuk menindaklanjuti hal ini, banyak tes-tes kecerdasan dari luar negeri diadaptasi ke budaya Indonesia atau tes yang dikembangkan khusus untuk populasi orang Indonesia. Tes IQ memiliki kelebihan dibandingkan tes lain dalam hal profil kemampuan kognitif mengenai kekuatan dan kelemahan individu. Tes IQ dapat memprediksi prestasi akademis siswa dan performansi kerja seorang karyawan. Tes IQ juga memberikan informasi yang bermanfaat bagi individu yang mengalami gangguan perkembangan. Hal ini dikarenakan IQ dapat memberikan informasi batas-batas kemampuan seorang individu dan pengaruh dari gangguan yang dialami terhadap kemampuan belajar. Dalam seting sekolah, IQ dapat memberikan informasi apakah seorang siswa perlu mendapatkan program khusus ataukah tidak.
Kecerdasan bersifat multidimensi yang menyebabkan administrasi tes untuk mengukur kecerdasan membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Untuk mengantisipasi hal ini beberapa pengguna kemudian beralih ke tes kecerdasan yang lebih praktis dan dapat dikenakan pada banyak orang secara bersamaan (klasikal). Tes kecerdasan yang bersifat klasikal kemudian menjadi populer dibanding dengan tes-tes kecerdasan yang bersifat individual. Nampaknya tes-tes kecerdasan yang bersifat individual kemudian hanya dipakai dalam bidang pendidikan saja, terutama pada siswa yang berasal dalam masa perkembangan anak dan remaja. Popularitas tes kecerdasan klasikal ini semakin tinggi ketika penggunaannya mulai masuk ke bidang industri dan organisasi untuk keperluan seleksi, penempatan dan promosi karyawan. Tes-tes yang banyak dipakai antara lain, Advanced Progressive Matrices (APM) yang merupakan tes yang bersifat adil budaya, atau Intelligenz Struktur Test (IST) tidak adil budaya karena ada unsur tes verbal di dalamnya.
Sementara itu tes kecerdasan yang bersifat klasikal yang dikembangkan oleh penyusun tes dari dalam negeri juga berkembang pesat. Misalnya Tes Potensi Akademik (TPA), Tes Bakal Skolastik (TBS) atau Tes Inteligensi Umum (TIU) yang khusus dipakai untuk keperluan seleksi pegawai negeri. Sementara itu tes inteligensi khusus untuk seleksi calon siswa di level perguruan tinggi juga dikembangkan, misalnya Tes Potensi Pascasarjana (PAPS). Tes-tes ini memiliki spesifikasi yang hampir sama, misalnya memuat tiga subtes, yaitu kemampuan verbal, kuantitatif dan figural.
A. Tes Potensi Akademik sebagai Tes Admisi
Di lingkup universitas, tes potensi akademik merupakan sebuah tes potensi terstandar yang dibutuhkan sebagai salah satu komponen dalam proses seleksi masuk perguruan tinggi. Skor yang didapat pada tes potensi akademik merupakan prediktor dalam menentukan performansi mahasiswa saat mengikuti program pendidikan yang lebih tinggi. Dalam teorinya, tes potensi akademik menyediakan informasi mengenai kriteria-kriteria atau kualifikasi umum yang dapat digunakan untuk membandingkan seluruh calon mahasiswa antara satu dengan lainnya. Tujuannya adalah agar mereka dapat memiliki informasi dalam membuat keputusan dalam menerima mahasiswa baru.
Tes potensi akademik bukanlah satu-satunya tes yang dipakai untuk menyeleksi calon mahasiswa. Tes ini menjadi pelengkap beberapa tes, misalnya tes prestasi yang menekankan pada materi bidang yang akan digeluti serta tes penguasaan bahasa asing, misalnya Bahasa Inggris. Oleh karena itu, skor yang dihasilkan oleh tes potensi akademik ini tidak dijadikan sebagai kriteria tunggal dalam menerima siswa di perguruan tinggi. Di Amerika Serikat pihak panitia juga perlu mempertimbangkan nilai mahasiswa ketika SMA, surat rekomendasi, kegiatan ekstrakulikuler, prestasi mahasiswa, wawancara, dan juga informasi relevan lain yang dimiliki oleh siswa dalam membuat keputusan. Sebuah penelitian menemukan bahwa peringkat kelas saat SMA dan nilai rata-rata dari tes prestasi menjadi prediktor yang kuat terhadap kesuksesan akademik seorang siswa (Baron & Norman, 1992).
Tes potensi akademik secara luas dianggap sebagai tes untuk mengetahui tingkat kemampuan mental dasar yang dapat memberikan gambaran tentang mengenai proyeksi calon mahasiswa. Tes potensi akademik juga dipakai sebagai standar kualitas (gold standard) mengenai seperangkat kemampuan yang dapat memprediksi bagaimana calon mahasiswa akan tampil di tahun-tahun awal mereka kuliah.
B. Karakteristik Tes Potensi Akademik
Tes potensi akademik dapat digambarkan sebagai tes yang berorientasi pada hasil, sebagai lawan tes yang berorientasi proses. Dalam tes yang berorientasi hasil, yang dipentingkan adalah total skor yang kembali diproyeksikan oleh jumlah jawaban yang benar. Fokus dari tes yang berorientasi proses adalah jawaban, baik jawaban yang benar dan yang salah. Fokus ini berbeda dengan tes yang dipakai untuk fungsi diagnostik sebuah tes yang menekankan pada pola respon masing-masing individu yang mengikuti tes.
C. Landasan Teoritik Potensi Akademik
Secara umum konstruk yang diukur oleh sebagian besar tes potensi akademik adalah kecerdasan umum (general Intelligence).
Keterkaitan Potensi Akademik dengan Inteligensi
Penelitian yang dilakukan oleh Frey dan Detterman(2004) menemukan bahwa tes potensi akademik merupakan ukuran yang cukup untuk menjelaskan kecerdasan secara umum. Di sisi lain, tes potensi akademik adalah instrumen yang berguna dalam memprediksi fungsi kognitif. Terlebih ketika instrumen lain untuk mengukur kecerdasan belum tersedia, terlalu memakan waktu, atau terlalu mahal. Mereka kemudian merekomendasikan bahwa skor yang dilaporkan oleh tes potensi akademik sebagai skor pada faktor kemampuan umum, ditambah kemampuan matematika dan skor verbal terpisah. Skor tes potensi akademik dapat dikonversi menjadi skor yang dapat dipakai untuk memprediksi IQ dengan tepat. Meskipun skor tes potensi akademik tanpa konversi tetap diterima, namun tes potensi akademik yang telah dikonversi ke skor IQ memiliki banyak manfaat, misalnya ketika peneliti hendak melakukan studi perbandingan.
Domain-domain Ukur Tes Potensi Akademik
Sebagian besar domain ukur yang diacu oleh tes-tes potensi akademik adalah penalaran yang memuat tiga media, yaitu verbal, kuantitatif dan figural. Setiap domain tersebut dijabarkan menjadi subtes yang di dalamnya memiliki beberapa komponen yang merupakan jenis tes yang dipakai (misalnya analogi kata). Komposisi subtes-subtes dalam tes ini lebih stabil dibanding dengan komponen-komponennya yang setiap saat dapat berubah. Misalnya, komponen atau jenis tes yang dipakai dalam SAT telah berubah dibandingkan dengan SAT pada versi-versi awal pengembangannya. Sejak awal sudah ada dua bidang konten utama yang diubah, yaitu bagian tes verbal dan kuantitatif. Bagian SAT Verbal sempat terdiri dari empat jenis tipe subtes: antonim, analogi, kalimat selesai, dan pemahaman bacaan. Tes antonim telah digunakan sejak tahun 1926 namun subtes ini kemudian tidak dipakai lagi. SAT kuantitatif (SAT-M) cenderung mengukur satu dimensi (unidimensional) sehingga ada pembenaran secara empiris untuk membagi skor SAT-M ke beberapa sub skor.
SAT direvisi pada tahun 1994 dan revisi ini termasuk lagi tes pemahaman bacaan dengan pertanyaan yang meminta individu untuk lebih fokus pada konteks bacaan; pertanyaan matematika yang memerlukan individu untuk menghasilkan jawaban mereka sendiri; dan lebih banyak waktu per pertanyaan pada tes. Penambahan butir uni mengakibatkan tekanan waktu kurang dalam pengerjaan tes menjadi berkurang.
D. Manfaat Tes Potensi Akademik
Dari sisi institusi,
Dari sisi mahasiswa, tes potensi akademik memiliki manfaat untuk membantu mahasiswa dalam menentukan arah dan tujuan mereka dari SMA ke perguruan tinggi dan juga dalam penentuan karier. Informasi yang diberikan oleh tes potensi akademik juga dapat memberikan manfaat praktis seperti (a) pintu masuk ke perguruan tinggi, (b) membantu siswa dalam membangun kemampuan yang dimiliki, (c) membantu siswa dalam memperoleh kesempatan untuk mendapatkan beasiswa.
E. Fungsi Tes Potensi Akademik
- Mengukur kemampuan literasi dan menulis yang dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan di perguruan tinggi;
- Menilai kemampuan siswa dalam menganalisis dan menyelesaikan sebuah persoalan;
- Prediktor kesuksesan siswa saat berada di perguruan tinggi.
F. Penelitian tentang Potensi Akademik
Penelitian mengenai potensi akademik mahasiswa telah dilakukan sejak lama. Sebagian besar penelitian dilakukan di Amerika Serikat dengan menggunakan instrumen tes yang telah terstandarisasi seperti Scholastic Aptitude Test (SAT), College Admission Test, atau Cognitive Ability Test (CogAT). Pada beberapa dekade yang lalu, Dalton (1976) melakukan penelitian untuk menguji validitas prediktif dari SAT dan prestasi siswa SMA dalam memprediksi kesuksesan mereka ketika berada di perguruan tinggi. Hasil yang diperoleh serupa dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Michael dan Jones (1963) dalam dua hal, yaitu (a) berkaitan dengan prestasi akademik, perempuan lebih mudah diprediksi dibandingkan laki-laki dan (b) kemampuan dalam memprediksi nilai di perguruan tinggi dari SAT dan HSA (high school achievement) tampak mengalami penurunan.
Sebuah penelitian lain (Hosseini, 1978) menemukan bahwa SAT NOEE (Scholastic Aptitude test of the National Organization for Education Evaluation) dapat menjadi prediksi bagi kesuksesan mahassiswa. Namun demikian, penelitian ini tidak mendukung hipotesis yang telah dibuat dimana perempuan lebih mudah mudah diprediksi dibandingkan laki-laki. Mcdonald and Gawkoski (1979) menemukan bahwa SAT-V dan SAT-M (verbal dan matematika) memiliki pengaruh dalam menentukan kesuksesan siswa. Terdapat perbedaan gender dalam penelitian tersebut, dimana pada kelompok subjek perempuan hanya SAT-M yang memiliki kegunaan praktis dalam memprediksi kesuksesan mereka.
Terkait dengan domain-domain pada tes potensi akademik, beberapa penelitian melaporkan hasil yang bervariasi. Foti and DeYoung (1991) menemukan bahwa SAT terutama dimensi verbal menjadi prediktor yang kuat dalam menentukan keberhasilan siswa di perguruan tinggi. Penelitian lain menemukan bahwa skor SAT-M (Scholastic Aptitude Test-Mathematics) yang diperoleh pada jenjang pendidikan SMP (khususnya kelas VII dan VIII) dapat memprediksi prestasi seseorang ketika berada di jenjang pendidikan SMA dan perguruan tinggi (Benbow, 1992). Penelitian yang dilakukan oleh Coyle, Purcell, Synder, dan Kochunov (2013) menemukan bahwa masing-masing subtes pada SAT memberikan sumbangan tersendiri bagi kemampuan individu, dimana SAT-M (math) berhubungan positif dengan kemapuan matematika dan berhubungan negatif dengan kemampuan verbal, dan begitupun sebaliknya untuk subtes verbal. Hasil yang serupa juga diperoleh oleh penelitian yang dilakukan oleh Coyle, Synder, Richmond, dan Little (2015) dimana SAT-M (math) berkorelasi positif dengan kemampuan matematika dan nilai STEM (science, technology, engineering, dan math) dan berkorelasi negatif dengan kemampuan verbal dan nilai ilmu sosial (seperti: Bahasa Inggris, kesenian, sejarah, dan bahasa asing), begitupun sebaliknya pada subtes SAT-V (verbal).
Anak berbakat dengan skor SAT-M yang lebih tinggi pada usia 12 tahun menunjukkan prestasi yang tinggi ketika dewasa pada bidang matematika, ilmu pengetahuan alam, dan teknologi, sebaliknya anak berbakat dengan skor SAT-V yang lebih tinggi menunjukkan prestasi yang tinggi bada bidang ilmu sosial ketika mereka dewasa (Park, Lubinski, & Benbow, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Cohn, Cohn, Balch, and Bradley Jr (2004) mengungkapkan bahwa memasukkan SAT sebagai persyaratan merupakan hal yang penting dalam memprediksi kesuksesan siswa di perguruan tinggi.
Beberapa penelitian memusatkan diri pada hal-hal yang dapat mempengaruhi skor tes potensi akademik seorang calon mahasiswa. Everson and Millsap (2004) menemukan bahwa latar belakang keluarga mempengaruhi skor SAT baik secara langsung ataupun tidak langsung, peluang belajar baik di dalam ataupun di luar kurikulum sekolah juga berkaitan dengan performa SAT. Sekolah juga memiliki pengaruh dalam menentukan kesuksesan siswa, seperti ukuran sekolah, proporsi siswa dari keluarga yang kurang mampu, dan komposisi dari ras/etnis. Penelitian yang dilakukan oleh DeBerard, Spielmans, dan Julka (2004) pada sejumlah mahasiswa baru di sebuah universitas menemukan bahwa individu yang memiliki kesehatan mental yang baik dan adanya dukungan sosial dapat menjadi faktor lain yang dapat mempengaruhi skor SAT .
Camara dan Echternacht (2000) menemukan bahwa secara keseluruhan peringkat saat SMA menjadi prediktor yang baik dalam memprediksi kesuksesan akademik seseorang di perguruan tinggi. Namun demikian, kombinasi keduanya akan menjadi prediktor yang sangat optimal untuk melihat rata-rata indeks prestasi pada mahasiswa baru. Penelitian yang dilakukan oleh Wolfe dan Johnson (1995) menemukan bahwa peringkat saat SMA dapat memprediksi sebesar 19% nilai IPK saat berada di perguruan tinggi, dimana sebesar 9% diprediksi oleh kontrol diri, dan 5% oleh skor SAT.