Keberfungsian Butir Diferensial dalam Pengukuran Dukungan Sosial
Arifa Norma Dewi & Wahyu Widhiarso
Fakultas Psikologi UGM
Tahun 2010
Perbedaan karakter dan perilaku manusia antara laki-laki dan perempuan terjadi pada banyak hal. Perbedaan tersebut bisa dilihat baik secara fisik maupun nonfisik yang terjadi dalam konteks jender. Jender merupakan sebuah aspek inti dari identitas diri internal, sebuah set laki-laki dan perempuan dari sisi perilaku dan mental yang dibentuk dan dikembangkan oleh kelompok masyarakat tertentu. Kajian jender meliputi proses kognitif dan perilaku pada laki-laki dan perempuan di lingkup masyarakat tertentu (Galliano, 2003). Setiap kelompok masyarakat memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai karakteristik laki-laki dan perempuan. Pandangan yang ada tidak terlepas dari stereotipe yang berkembang sesuai dengan kondisi dan internalisasi nilai-nilai budaya masing-masing daerah. Jender merupakan set stereotipe yang mempengaruhi bagaimana laki-laki dan perempuan dipandang oleh masyarakat serta membentuk perbedaan karakteristik mereka. Telah banyak dilakukan pengukuran dengan berbagai tujuan namun ternyata masih ada alat ukur yang belum mengukur konstrak psikologis dengan optimal karena berbagai sebab. Sejauh ini banyak muncul kritik terhadap alat ukur, seperti adanya alat ukur yang tidak bebas budaya. Alat ukur tersebut dibuat dan atau dikembangkan serta digunakan di negara barat namun juga digunakan di Indonesia. Hasilnya, alat ukur tersebut belum mampu mengungkap konstrak psikologis yang diukur dengan optimal. Permasalahan lain yang terjadi dalam alat ukur adalah masalah bias dalam pengukuran, misalnya adanya aitem-aitem yang bias. Aitem yang bias ini menyebabkan ketidakadilan karena menguntungkan salah satu kelompok tertentu namun merugikan kelompok lainnya. Bias pengukuran ini terjadi pada alat ukur yang mengungkap dinamika perbedaan karakteristik dalam jender yang lebih dikenal dengan istilah bias jender (Einarsdóttir & Rounds, 2009).
Aitem-aitem dalam alat ukur tersebut bisa menguntungkan salah satu pihak baik laki-laki ataupun perempuan sehingga tujuan pengukuran tersebut tidak dapat dicapai dengan maksimal. Jika terjadi bias jender dalam pengukuran, maka informasi yang dihasilkan akan bias. Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan karakter juga memiliki perbedaan respon terhadap alat ukur. Masalah ini mendukung perlunya penyusunan alat ukur yang dapat mengakomodasi perbedaan jender agar tidak terjadi bias dalam pengukuran dan didapatkan hasil informasi yang lebih optimal. Istilah bias dalam alat ukur mengandung dua maksud. Pertama, adanya perbedaan masing-masing anggota dalam kelompok yang terjadi karena keanggotaan mereka dan dikenal sebagai bias sosial. Kedua, perbedaan keanggotaan kelompok tersebut yang mengacu pada perbedaan performansi dan dikenal sebagai bias secara statistik (Rahmawati, 2006). Permasalahan bias yang difokuskan dalam penelitian ini adalah adanya bias sosial yang menjadi penyebab bias pengukuran sebuah instrumen pengukuran psikologi.
Penelitian tentang bias jender yang terkait dengan alat ukur telah banyak dilakukan. Ada tidaknya aitem yang bias jender dalam sebuah skala/alat ukur dideteksi menggunakan keberfungsian aitem diferensial. Kartowagiran (2005) meneliti soal UAN Matematika SMP tahun 2003 menggunakan berbagai metode untuk mendeteksi DIF (Differential Aitem Functioning). Beberapa hasilnya antara lain: dengan metode ICC (Item Characteristic Curve) terdapat delapan soal yang terjangkit DIF, melalui metode luasan raju terdapat empat soal terjangkit DIF, dengan metode Lord didapatkan lima soal terjangkit DIF, melalui tes rasio kebolehjadian terdapat sembilan butir soal terjangkit DIF. Beberapa soal tersebut menguntungkan salah satu jender, baik siswa maupun siswi SMP. Penelitian lain mengenai DIF juga dilakukan oleh Ridho (2005) yang meneliti tentang keberfungsian item tes UAN Matematika SMA tahun pelajaran 2003/2004 di propinsi DIY dan hasilnya menunjukkan terdapat 12 aitem terdeteksi DIF yang lima aitemnya menguntungkan laki-laki dan tujuh aitem lainnya menguntungkan perempuan. Selain itu, Rahmawati (2006) meneliti perbandingan berbagai metode untuk meninjau ada tidaknya soal-soal yang mengandung DIF pada tes Dirasat Islamiyah dalam seleksi penerimaan mahasiswa di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Hasilnya menunjukkan bahwa analisis DIF dengan metode Kai-kuadrat Lord mendeteksi satu aitem terjangkit DIF yang menguntungkan kelompok referensi. Haryanta (2008) meneliti tentang analisis kualitas tes potensi pada ujian tulis UM UGM tahun 2007, dan menemukan masih adanya tiga aitem soal yang terjangkit DIF.
Kajian mengenai DIF juga pernah dilakukan terhadap skala psikologi, misalnya penelitian yang dilakukan oleh Einarsdóttir dan Rounds (2009). Penelitian ini mendeteksi ada tidaknya DIF dalam vocational interest measurement yang berfungsi sebagai pengukuran vokasional. Strong Interest Inventory merupakan salah satu alat ukur minat kerja yang diteliti dalam penelitian ini. Terdapat dua jenis SII dalam penelitian ini yaitu the Six General Occupational Theme (GOT) dan 25 Basic Interest (BI). Hasilnya menunjukkan bahwa pada GOT terdapat korelasi negatif yang relatif tinggi antara skor DIF dan jenis kelamin. Skor DIF yang tinggi pada sebuah aitem terjadi cenderung pada jenis kelamin maskulin/ laki-laki. DIF juga ditemukan pada aitem-aitem dalam BI. Persentase aitem pada setiap skala menunjukkan adanya DIF, yaitu aitem dalam Agriculture (83 persen), Medical Services (83 persen), Organizational Management (82 persen), dan Teaching (78 persen). Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa 66 persen aitem (197 dari 298 aitem) sebagai konstrak dalam BI terjangkit DIF.
Penelitian serupa kembali dilakukan oleh Van Dam, Earleywine, dan Forsyth (2009) pada skala AS (Anxiety Sensitivity) yang mengukur kecemasan. Hasilnya dalam ASI (Anxiety Sensitivity Index) menunjukkan bahwa aitem-aitem dalam terjangkit DIF. Wanita menunjukkan skor yang lebih tinggi pada skala tersebut dan lebih besar kecenderungannya pada gangguan kecemasan dibandingkan pria. Diferensiasi jender pada skala ASI tersebut muncul karena adanya bias aitem pada subjek wanita. Empat statistik yang berbeda memeriksa adanya DIF yang mengindikasikan bahwa wanita cenderung mendukung aitem “It scares me when I feel faint”.
Penelitian lain mengenai bias aitem yang dideteksi dengan DIF juga dilakukan oleh Ponsoda, Abad, Francis, dan Hills (2008) pada skala harga diri Coopersmith (the Coopersmith Self-Esteem Inventory). Metode yang digunakan untuk mendeteksi DIF dalam penelitian ini adalah Mantel-Haenszl, logistic regression, dan prosedur statistik SIBTEST. Hasilnya menunjukkan bahwa 11 aitem terjangkit DIF, enam aitem diantaranya subjek perempuan memberikan skor lebih tinggi dibandingkan laki-laki dan lima aitem subjek laki-laki memberikan skor lebih tinggi dibandingkan perempuan. Berdasarkan hasil tersebut, hal yang menyebabkan bias aitem adalah perbedaan karakteristik dalam harga diri antara laki-laki dan perempuan secara umum. Harga diri laki-laki cenderung terkait dengan dirinya sendiri, sedangkan harga diri perempuan tergantung pada interaksinya dengan orang lain.
Penelitian tentang adanya bias jender dalam berbagai hal perlu dilakukan. Beberapa penelitian tersebut di atas mengisyaratkan bahwa ternyata kasus bias jender dalam pengukuran psikologi merupakan masalah yang perlu diatasi. Jika bias jender alam sebuah pengukuran bisa terjadi pada berbagai konstrak, maka terdapat kemungkinan bahwa pengukuran konstrak psikologis, misalnya dukungan sosial juga rentan terhadap permasalahan pengukuran yang bias jender. Permasalahan bias jender dalam pengukuran dukungan sosial ini terjadi karena perbedaan karakteristik antara laki-laki dan perempuan mempengaruhi pola respon jawabannya terhadap alat ukur. Perbedaan karakteristik tersebut dipengaruhi juga oleh budaya yang berkembang di masyarakat. Budaya yang ada diinternalisasikan oleh orangtua atau figur-figur lain yang signifikan sehingga berpengaruh terhadap pola pikir dan perilaku laki-laki dan perempuan dalam konteks jender.
Menurut Fakih (2008) jender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Jender merupakan sebuah kategori sosial dan identitas sosial (Galliano, 2003). Identitas jender didapatkan sejak manusia lahir. Perbedaan dalam jender muncul karena berbagai faktor, seperti pola asuh, pola pendidikan, dan internalisasi nilai-nilai budaya di suatu daerah. Berkembangnya perbedaan dalam jender bisa disebabkan karena adanya pembelajaran sosial. Galliano (2003) memberikan contoh pada beberapa kelompok masyarakat tertentu, setiap perempuan mampu secara alamiah untuk menjadi istri dan ibu, sedangkan di beberapa daerah lainnya, laki-laki akan menjadi seorang pria setelah ia memiliki visi, bisa mendukung atau menghidupi dirinya dan orang lain. Peran jender ini tidak hanya ditentukan oleh jenis kelamin orang yang bersangkutan tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan dan faktor lainnya (Sarwono, 2008).
Perbedaan karakteristik dalam jender yang dikonstruksi secara sosial berkembang menjadi stereotipe dan memunculkan adanya bias jender. Bias jender dapat disebabkan oleh adanya perbedaan-perbedaan faktor biologis dan fisik antara laki-laki dan perempuan. Secara jasmaniah, perempuan mengalami masa menstuasi, mengandung, melahirkan, menyusui dan terdapat stereotipe dalam masyarakat bahwa seorang perempuan memang memiliki kodrat sebagai ibu. Perbedaan tersebut juga terbentuk secara dialektika. Konstruksi sosial jender yang tersosialisasikan secara revolusional dapat mempengaruhi aspek biologis dari masing-masing jenis kelamin. Misalnya, adanya konstruksi sosial mengharuskan laki-laki bersifat mandiri, kuat, dan agresif, sehingga laki-laki terlatih dan termotivasi untuk memiliki sifat yang ditentukan secara sosial oleh masyarakat tersebut. Begitu juga dengan perempuan yang secara sosial dikonstruksikan memiliki perangai lemah lembut, sejak kecil karakter tersebut telah diinternalisasikan dan mempengaruhi tidak hanya aspek fisik tetapi juga emosional (Fakih, 2008).
Perbedaan karakteristik antara laki-laki dan perempuan memang terlihat sejak masa kanak-kanak. Anak laki-laki lebih banyak mendapatkan kesempatan bermain di luar rumah dibandingkan anak perempuan. Waktu bermain anak laki-laki juga lebih lama. Permainan anak laki-laki bersifat lebih konstruktif dan kompetitif karena sifat anak laki-laki yang lebih tekun dan efektif dibandingkan anak perempuan, sedangkan anak perempuan cenderung bermain di dalam ruangan dan sifat permainannya lebih kooperatif (Seelau & Seelau dalam Asmarany, 2008).
Perbedaan pendapat dalam jender baik dari sisi biologis dan psikologis terkadang merugikan salah satu jender, yaitu pihak perempuan. Pendapat seperti anak laki-laki lebih unggul, pandai, dan rasional dibandingkan anak perempuan akan merugikan pihak perempuan. Pendapat lain memaparkan bahwa anak perempuan kelak diharapkan menjadi istri dan ibu. Munculnya perbedaan ini karena adanya sudut pandang yang terkadang salah menginterpretasikan karakteristik perempuan, sehingga timbul diskriminasi yang merugikan perempuan (Worthen & Sullivan dalam Asmarany, 2008). Perbedaan karakteristik tersebut terjadi dalam semua rentang usia laki-laki dan perempuan. Dinamika perbedaan dalam konteks jender menunjukkan keunikan yang menarik. Keunikan dinamika ini juga terlihat pada remaja yang merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Transisi dari satu tahap ke tahap lain sifatnya gradual dan tidak pasti. Memasuki masa pubertas ini masalah jender telah dimulai. Perubahan fisik yang terjadi menekankan perbedaan secara fisik (tubuh) pada remaja laki-laki dan perempuan. Galliano (2003) memaparkan bahwa hormon menyebabkan sistem seksual berkembang sepenuhnya dan ciri-ciri seks sekunder mulai muncul. Remaja tidak lepas dari tugas-tugas perkembangan yang menjadi karakteristik kehidupan di masanya. Menurut Mönks, Knoers, dan Haditono (2006) tugas-tugas perkembangan remaja pada usia 12-18 tahun antara lain perkembangan aspek-aspek biologis, menerima peran dewasa berdasarkan pengaruh kebiasaan masyarakat lokal, mendapat kebebasan emosional dari orangtua dan atau orang dewasa lainnya, mempunyai pandangan hidup sendiri, dan merealisasikan suatu identitas sendiri dan turut serta dan berpartisipasi dalam kebudayaan sendiri.
Perkembangan yang terjadi di usia remaja bisa dilihat dari berbagai aspek, seperti biologis atau fisik, sosial, emosional, seksual, kognitif, dan perilaku. Remaja sebagai masa transisi dalam perkembangan psikososialnya juga mengalami peralihan interaksi sosial yang digambarkan oleh Ausubel dalam oleh Mönks dkk. (2006) sebagai dua macam gerak. Pertama, gerak memisahkan diri dari orangtua. Kedua, gerak menuju ke arah teman-teman sebaya (peer). Gerak pertama tanpa diikuti gerak yang kedua akan menimbulkan kesepian dalam diri remaja. Dalam hal ini para remaja lebih intens berinteraksi dengan kawan sebayanya dibandingkan keluarganya. Namun, kualitas hubungan remaja dengan orangtua juga sangat penting dan menentukan arah perkembangan mereka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurang lebih 50 persen remaja mengidentifikasikan hubungan yang signifikan dengan orang dewasa lain daripada orangtua mereka, seringkali dengan teman satu jender di masa kanak-kanaknya dulu (Cannon, Pasch, Tschann, & Flores, 2006). Perbedaan jender turut mewarnai dinamika perkembangan remaja. Misalnya seperti pelepasan emosi pada anak perempuan terhadap orangtua mereka lebih sulit dibandingkan dengan anak laki-laki (Mönks dkk., 2006).
Perbedaan karakteristik jender di Indonesia khususnya di Jawa erat dengan internalisasi budaya yang didapatkan dari orangtua atau figur signifikan lain, seperti diinternalisasikannya kepada anak perempuan agar mencintai orangtua dan keluarga. Anak perempuan juga harus memiliki orientasi merawat, memelihara, dan bertanggungjawab terhadap rumah dan keluarga. Walaupun demikian, anak perempuan juga masih memiliki kesempatan yang sama untuk menduduki fungsi penting dalam masyakatnya. Penilaian masyarakat akan lebih positif seandainya seorang perempuan yang berkegiatan di masyarakat tidak melalaikan tugas-tugasnya di rumah, sedangkan karakteristik negatif seperti ceroboh dan tidak rapi, masih dimaklumi oleh masyarakat ketika karakter tersebut dimiliki oleh anak laki-laki. Anak perempuan yang memiliki karakteristik tersebut akan dipandang negatif oleh masyarakat dan dianggap tidak pantas (Fakih, 2008).
Diferensiasi jender yang terjadi dalam dunia remaja juga terkait dengan dinamika dukungan sosial. Cowie dan Wallace (2000) yang memaparkan bahwa dukungan sosial dapat dispesifikkan menjadi dua kategori yaitu dukungan orangtua dan dukungan teman dekat atau teman sebaya. Dukungan sosial bermacam-macam bentuknya, seperti dukungan materi, dukungan finansial, dukungan emosional, dan dukungan informasional. Jenkins, Goodness, dan Buhrmester (2002) memaparkan bahwa perempuan mendapatkan dukungan dari sahabat karib lebih besar dan sedikit berkonflik, efikasi dirinya lebih tinggi, serta lebih besar kemungkinan dalam mengalami konflik yang menimbulkan depresi dibandingkan laki-laki.
Moran dan Eckenrode (1991) juga menyatakan bahwa perempuan dilaporkan mengalami depresi yang lebih, harga diri lebih rendah, dan lebih besar permasalahannya yang terkait dengan dukungan dibandingkan laki-laki. Namun semakin besar dukungan sosial berhubungan positif dengan berkurangnya gejala depresi (Cannon dkk., 2006). Pentingnya dukungan dari teman sebaya pada remaja berkembang menarik seiring dengan kematangan mereka dan bertambahnya pengalaman dalam hal hubungan interpersonal dibutuhkan untuk membentuk dan membangun persahabatan mereka. Hubungan interpersonal tersebut termasuk keakraban yang lebih, keterbukaan diri, perasaan iba, dan dukungan emosional (Jenkins dkk., 2002).
Secara umum remaja menghargai pertemanan, dukungan sosial, dan persetujuan dari teman mereka dan dianggap lebih penting dibandingkan dengan persetujuan dari orangtua mereka dan buruknya hubungan dengan teman sebaya mereka dapat menyebabkan depresi. Perempuan menggunakan hubungan dengan teman sebayanya untuk membantu mengatasi stress dibandingkan laki-laki (Jenkins dkk., 2002). Goldsmith dan Dun (1997) menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki tipe yang berbeda dalam memberikan dukungan sosial, perempuan memberikan dukungan emosional dan empati sedangkan laki-laki menawarkan dukungan instrumental atau mencoba meminimalisir masalah yang terjadi. Masa remaja awal yang memulai untuk mengasingkan diri dari keluarganya, masih tetap membutuhkan dukungan dan persetujuan keluarga dibandingkan teman untuk merasa aman dalam pencarian otonomi diri mereka (Jenkins dkk., 2002). Di samping itu, orang dewasa yang mendukung telah melakukan fungsi suportifnya dalam bentuk instrumental dan emosional, serta membantu para remaja untuk mengeksplor identitas mereka, meningkatkan konsep diri mereka, menanamkan nilai-nilai seperti efikasi diri dan kompetensi, serta membuat keputusan yang baik (Cannon dkk., 2006).
Dukungan sosial yang berbentuk dukungan emosional dari orangtua akan mengurangi dampak peristiwa negatif dalam kehidupan remaja dan membentuk karakteristik resiliensi pada remaja (Cannon dkk., 2006). Penelitian lain memaparkan bahwa orang dewasa memberikan dukungan yang fungsinya bersifat orientasi-tujuan kepada laki-laki, sedangkan kepada perempuan, orang dewasa memberikan dukungan yang fungsinya pemberdayaan dan empati dan menjadi penengah hubungan orangtua-anak, memberikan pandangan alternatif dan petunjuk ketika berpisah dari orangtua (Cannon, dkk., 2006). Dalam jender, dukungan teman sebaya diasosiasikan dengan permasalahan perilaku eksternal sedangkan dukungan keluarga berkorelasi negatif terhadap problem tersebut (Kerr, Preuss, & King, 2006). Hubungan dengan teman sebaya merupakan indeks penting dalam kompetensi sosial tertentu dan penyesuaian psikososial pada anak. Membangun hubungan dengan sebaya merupakan tugas perkembangan yang utama pada masa pra remaja dan remaja (Vanatta, Garstein, Zeller, & Noll, 2009).
Dinamika dukungan sosial pada laki-laki dan perempuan juga terjadi dalam lingkup akademis di lingkungan sekolah. Altermatt (2007) meneliti tentang perbedaan gender dalam kesulitan akademis. Menurut hasil penelitian tersebut perempuan lebih suka mencari dan menerima dukungan sosial dari figur signifikan ketika mereka mendapatkan kesulitan akademis dibandingkan laki-laki dan dukungan tersebut diasosiasikan sebagai dampak yang positif. Dukungan sosial membawa dampak positif bagi siswa, dan sebaliknya, kekurangan dukungan sosial berdampak negatif pada siswa. Remaja laki-laki dan perempuan merespon dukungan sosial dari orangtua, teman dekat/ teman sebaya, guru, dan figur signifikan lainnya secara berbeda. Laki-laki dan perempuan berbeda kemauan dalam mengaktifkan proses dukungan, perilaku mencari dukungan, dukungan yang mereka berikan dan terima, serta persepsi mereka pada interaksi (Trees, 2009). Perbedaan karakteristik yang dimiliki oleh remaja laki-laki dan perempuan mempengaruhi perilaku, sikap, dan pola pikir mereka. Pola respon yang berbeda-beda ini patut untuk dipahami agar mendapatkan pemahaman yang komprehensif. Azwar (2008c) menyatakan bahwa salah satu aspek yang sangat penting dalam memahami sikap dan perilaku manusia adalah dengan pengungkapan (assessment) atau pengukuran (measurement). Psikologi sebagai bidang kajian ilmu yang mempelajari perilaku dan proses mental menggunakan instrumen pengukuran untuk mengungkap berbagai konstrak psikologis. Terutama konstrak dari perilaku manusia yang tidak tampak (covert behavior).
Pembuatan alat ukur dan proses pengukuran dalam ilmu psikologi (psikometri) terus mengalami perkembangan. Penggunaannya masih dipertanyakan apakah alat ukur tersebut mampu mengukur secara valid dan reliabel dalam berbagai pendekatan di disiplin ilmu psikologi. Reliabel berarti sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Sedangkan validitas berarti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur menjalankan fungsi ukurnya (Azwar, 2008b). Alat ukur yang dibuat disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuannya. Fokus dalam penelitian ini adalah penggunaan skala dukungan sosial yang diberikan pada responden siswa SMA laki-laki dan perempuan. Melalui penelitian ini ingin dilihat bagaimana pola respon jawaban yang diberikan oleh responden siswa SMA (remaja) laki-laki dan perempuan serta bagaimana dinamika remaja laki-laki dan perempuan dalam merespon aitem-aitem dukungan sosial. Perbedaan pola respon antara remaja laki-laki dan perempuan ini diukur dengan teori respon aitem dan menitikberatkan pada ada atau tidaknya aitem-aitem yang bias jender melalui differential aitem functioning/ keberfungsian aitem diferensial. Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah mendeteksi kemungkinan bias dalam skala dukungan sosial dengan cara melihat keberfungsian aitem diferensial yang didasarkan pada diferensiasi jender subjek. Pengukuran dukungan sosial ini diharapkan dapat mengungkap dan memahami dinamika sosial yang sesuai dengan konteks budaya Indonesia.
Metode
Partisipan Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada remaja karena ingin melihat dinamika diferensiasi gender dalam pemberian dukungan sosial dari figur yang signifikan. Sebagaimana diungkapkan oleh Mönks, dkk (2006) bahwa remaja merupakan masa transisi atau peralihan antara masa remaja dan masa dewasa. Interaksi remaja dengan sebaya (peers) lebih intens dibandingkan dengan orang tuanya namun remaja masih tetap membutuhkan dukungan dari figur signifikan seperti orang tua dan guru. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja laki-laki dan perempuan siswa kelas XI Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Yogyakarta dan SMA Negeri 3 Ciamis. Remaja tersebut merupakan individu-individu yang berada dalam rentang usia 12-21 tahun (Mönks dkk., 2006) dan dalam penelitian ini difokuskan pada rentang usia 15-18 tahun karena masa tersebut merupakan masa remaja pertengahan saat remaja mengalami krisis yang menunjukkan adanya suatu kepekaan dan labilitas yang meningkat (Mönks dkk., 2006).
Siswa kelas XI SMA Negeri 1 Yogyakarta merupakan remaja yang tercantum sebagai peserta program pendidikan di SMA Negeri 1 Yogyakarta, dan duduk di kelas XI pada tahun ajaran 2008/2009. Yang dimaksud siswa kelas XI SMA Negeri 3 Ciamis adalah remaja yang tercantum sebagai peserta program pendidikan di SMA Negeri 3 Ciamis, dan duduk di kelas XI pada tahun ajaran 2008/2009. Siswa tersebut digunakan sebagai subjek penelitian dengan alasan siswa kelas XI berada pada rentang usia masa transisi. Pada masa tersebut remaja mengalami peralihan interaksi dari keluarga ke teman sebaya. Interaksi remaja lebih intensif dengan teman sebaya namun mereka masih membutuhkan dukungan sosial dari orang tua dan guru dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangannya. Sampel merupakan bagian dari populasi yang memiliki ciri-ciri populasinya. Teknik pengambilan sampel yang tepat diperlukan untuk mendapatkan sampel yang representatif bagi populasi (Azwar, 2007a). Teknik pengambilan sampel adalah nonprobability/ nonrandom sampling atau sampel tidak acak dan memakai teknik yang lebih spesifik lagi, yaitu purposive sampling. Teknik ini dipakai karena peneliti memiliki maksud dan tujuan tertentu. Sampel siswa SMA merupakan subjek kategori remaja yang menapaki masa peralihan menuju dewasa dan mengalami krisis sehingga menjadi peka dan labil, namun masih membutuhkan dukungan sosial dari berbagai pihak khususnya figur signifikan. Sampel ini dianggap memiliki informasi yang diperlukan dalam penelitian karena dapat menggambarkan dinamika pemberian dukungan sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Instrumen
Teknik Analisis Data
Data dalam penelitian ini dianalisis menggunakan pendekatan IRT (Item Response Theory). Adapun langkah-langkah yang ditempuh untuk menganalisis data ini adalah sebagai berikut: Menetapkan IRT yang sesuai untuk mendeteksi adanya bias jender dalam skala dukungan sosial ini. Model yang dipakai dalam analisis data ini adalah model logistik satu parameter (1 PL) atau sering disebut sebagai rasch model, mengestimasi parameter butir, menguji unidimensionalitas pengukuran. Pada tahap ini data-data diuji dengan teknik analisis faktor konfirmatori atau CFA (Confirmatory Factor Analysis). Menganalisis data berdasarkan jenis DIF (Differential Item Functioning) uniform atau DIF yang seragam. Data pada butir-butir skala social support/ dukungan sosial dianalisis menggunakan metode Mantel-Haenszel. Analisis DIF dilakukan dengan menggunakan program WINSTEPS 4.1.
Hasil
Hasil analisis pengujian DIF pada Skala Dukungan Sosial menunjukkan bahwa terdapat aitem-aitem yang bias gender pada ketiga sumber dukungan sosial (orang tua, guru, dan teman dekat). Hasil deteksi DIF secara rinci dapat dicermati pada berikut ini.
Tabel 1. Hasil Analisis Deteksi DIF Berdasarkan Sumber Dukungan Sosial Orang Tua
Nomor Aitem | Tingkat Kesulitan | Probabilitas Mantel-Haenszel | Keterangan | |||
Laki-laki | Perempuan | Selisih | ||||
1 | -0,20 | 0,02 | -0,18 | 0,20 | – | |
2 | 0,25 | 0,27 | -0,02 | 0,64 | – | |
3 | -0,04 | -0,04 | 0 | 0,56 | – | |
4 | 0,19 | 0,24 | -0,05 | 0,74 | – | |
5 | 0,39 | 0,46 | -0,07 | 0,99 | – | |
6 | 0,16 | 0,16 | 0,3 | 0,99 | – | |
7 | -0,19 | -0,49 | 0,23 | 1,00 | – | |
8 | -0,05 | -0,28 | -0,06 | 0,03 | DIF | |
9 | -0,40 | -0,34 | -0,1 | 0,22 | – | |
10 | -0,09 | 0,01 | 0,21 | 0,10 | – | |
11 | -0,09 | -0,30 | -0,07 | 0,61 | – | |
12 | 0,14 | 0,20 | 0,02 | 0,31 | – | |
13 | -0,20 | -0,17 | -0,24 | 0,11 | – | |
14 | 0,60 | -0,19 | 0,09 | 0,09 | – | |
15 | 0,22 | 0,51 | 0,29 | 0,54 | – | |
16 | -0,20 | -0,18 | 0,02 | 0,90 | – |
Tabel di atas memuat tingkat kesukaran aitem baik pada laki-laki maupun pada perempuan. Pada teori aitem respon tingkat kesukaran sebuah aitem bergerak dari -4 sampai 4. Semakin tinggi nilai kesukaran menunjukkan semakin sulit bagi subjek untuk mendapatkan nilai tinggi pada sebuah aitem. Aitem yang terjangkit DIF ditunjukkan dengan nilai probabilitas Mantel Haenszl di bawah 0,05. Pada tabel 7 terlihat bahwa dari 16 aitem terdapat satu aitem yaitu aitem delapan yang terjangkit DIF. Nilai DIF laki-laki dan perempuan sama-sama negatif yang menunjukkan bahwa keduanya mudah untuk memberikan respon yang mendapatkan skor tinggi pada aitem delapan, namun perempuan cenderung lebih mudah memberikan skor tinggi karena nilai DIF perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Aitem delapan mengukur dukungan finansial berupa uang dari orang tua kepada remaja laki-laki dan perempuan.
Tabel 2. Hasil Analisis Deteksi DIF Berdasarkan Sumber Dukungan Sosial Guru
Nomor Aitem | Tingkat Kesulitan | Probabilitas Mantel-Haenszel | Keterangan | ||
Laki-laki | Perempuan | Selisih | |||
1 | -0,11 | -0,09 | -0,02 | 0,90 | – |
2 | 0,46 | 0,59 | -0,13 | 0,32 | – |
3 | -0,10 | -0,10 | 0 | 0,60 | – |
4 | 0,41 | 0,50 | -0,09 | 0,43 | – |
5 | 0,69 | 0,82 | -0,14 | 0,55 | – |
6 | 0,39 | 0,37 | 0,02 | 0,55 | – |
7 | 0,89 | 0,72 | 0,16 | 0,10 | – |
8 | -0,63 | -0,89 | 0,26 | 0,02 | DIF |
9 | -0,49 | -0,92 | 0,43 | 0,01 | DIF |
10 | -0,41 | -0,07 | -0,34 | 0,00 | DIF |
11 | -0,46 | -0,46 | 0 | 0,66 | – |
12 | -0,64 | -0,51 | -0,13 | 0,16 | – |
Pada tabel 2 terlihat bahwa dari 12 aitem terdapat tiga aitem yaitu aitem delapan, aitem sembilan, dan aitem sepuluh yang terjangkit DIF. Nilai DIF laki-laki dan perempuan sama-sama negatif yang menunjukkan bahwa keduanya mudah untuk memberikan skor tinggi pada aitem delapan, aitem sembilan, dan aitem sepuluh, namun salah satu jenis kelamin cenderung lebih mudah memberikan skor tinggi. Pada aitem delapan yang mengukur dukungan informasional berupa nasehat dari guru, perempuan cenderung mudah untuk memberikan skor tinggi dibandingkan laki-laki. Pada aitem sembilan yang mengukur dukungan informasional dari guru berupa informasi berguna, perempuan cenderung mudah untuk memberikan skor tinggi dibandingkan laki-laki. Pada aitem sepuluh yang mengukur dukungan informasional dari guru berupa memperbaiki kesalahan, laki-laki cenderung mudah untuk memberikan skor tinggi dibandingkan perempuan.
Tabel 3. Hasil Analisis Deteksi DIF Berdasarkan Sumber Dukungan Sosial Teman Dekat
Nomor Aitem | Tingkat Kesulitan | Probabilitas Mantel-Haenszel | Keterangan | ||
Laki-laki | Perempuan | Selisih | |||
1 | -0,61 | -0,69 | 0,08 | 0,13 | – |
2 | -0,32 | -0,32 | 0 | 0,88 | – |
3 | -0,75 | -0,75 | 0 | 0,96 | – |
4 | -0,19 | -0,51 | 0,31 | 0,07 | – |
5 | -0,48 | -0,55 | 0,07 | 0,81 | – |
6 | -0,21 | -0,15 | -0,06 | 0,80 | – |
7 | 0,64 | 0,64 | 0 | 0,40 | – |
8 | 0,50 | 0,55 | -0,05 | 0,50 | – |
9 | -0,50 | -0,17 | -0,33 | 0,02 | DIF |
10 | -0,06 | -0,06 | 0 | 0,69 | – |
11 | 0,10 | 0,12 | -0,02 | 0,72 | – |
12 | 1,87 | 1,79 | 0,08 | 0,44 | – |
Pada tabel 9 terlihat bahwa dari 12 aitem terdapat satu aitem yaitu aitem sembilan yang terjangkit DIF. Nilai DIF laki-laki dan perempuan sama-sama negatif yang menunjukkan bahwa keduanya mudah untuk memberikan skor tinggi pada aitem sembilan, namun laki-laki cenderung lebih mudah memberikan skor tinggi karena nilai DIF laki-laki lebih rendah dibandingkan perempuan. Aitem sembilan mengukur dukungan informasional dari teman dekat berupa informasi berguna yang menunjukkan laki-laki cenderung mudah untuk memberikan skor tinggi pada aitem tersebut dibandingkan perempuan
Rangkuman Hasil
Hasil analisis menggunakan pendekatan Item Response Theory (IRT) melalui metode keberfungsian aitem diferensial / DIF (differential item functioning) dengan teknik statistik non-parametrik Mantel-Haenszel menunjukkan bahwa masih terdapat aitem-aitem yang bias gender dalam skala dukungan sosial. Skala ini memuat pengukuran berdasarkan tiga sumber dukungan sosial, yaitu orang tua, guru, dan teman dekat. Aitem-aitem yang terdeteksi bias gender antara lain: satu aitem (aitem delapan) yang mengukur dukungan finansial pada sumber dukungan sosial dari orang tua, tiga aitem (aitem delapan, sembilan, dan sepuluh) yang mengukur dukungan informasional berupa memberi nasehat, informasi berguna, dan membantu memperbaiki kesalahan pada sumber dukungan sosial guru, dan satu aitem (aitem sembilan) yang mengukur dukungan informasional pada sumber dukungan sosial teman dekat.
Aitem-aitem yang terdeteksi bias akan menghasilkan informasi bias. Aitem yang bias ditunjukkan dengan nilai p<0,05. Pada sumber dukungan sosial dari orang tua, aitem delapan yang mengukur dukungan finansial pada remaja terbukti bias dengan nilai p=0,03 karena hasil tersebut menunjukkan bahwa remaja perempuan cenderung merespon dengan memberi skor tinggi, atau dengan kata lain remaja perempuan lebih mudah menerima dukungan berupa uang untuk membeli buku dan kebutuhan dibandingkan laki-laki.
Aitem lain yang terdeteksi bias adalah tiga aitem pada sumber dukungan sosial dari guru. Tiga aitem tersebut mengukur tentang dukungan informasional yaitu menasehati tentang masa depan dengan nilai p=0,02, memberi nasehat berguna tentang sekolah dengan nilai p=0,005, dan membantu memperbaiki kesalahan dengan nilai p=0,003. Subjek perempuan cenderung memberi skor tinggi pada aitem yang menjelaskan tentang dukungan informasional berupa nasehat dan informasi berguna. Aitem bias yang lain yaitu aitem membantu memperbaiki kesalahan, di mana laki-laki cenderung memberi skor tinggi pada aitem tersebut.
Pada sumber dukungan sosial dari teman dekat juga terdapat satu aitem yang terdeteksi bias, yaitu aitem sembilan yang mengukur dukungan informasional berupa informasi berguna dengan nilai p=0,015.
Diskusi
Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi bias aitem dalam skala dukungan sosial serta meninjau dinamika faktor-faktor yang menyebabkan bias aitem tersebut. Hasil analisis melalui metode keberfungsian aitem diferensial dengan teknik Mantel Haenszel menunjukkan bahwa ada beberapa aitem yang terjangkit DIF.
Aitem pertama yang terjangkit DIF adalah aitem delapan pada sumber dukungan sosial dari orang tua yang mengukur masalah dukungan finansial. Pada aitem ini perempuan cenderung memberi skor lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Hasil ini sesuai dengan paparan Fakih (2008) yang menyatakan bahwa laki-laki dipandang oleh konstruksi budaya sebagai individu yang lebih mandiri dibandingkan perempuann dalam konteks budaya Indonesia. Konstruksi budaya tersebut mempengaruhi dinamika penerimaan dukungan sosial pada subjek sehingga mempengaruhi subjek dalam memberikan respon jawaban terhadap aitem tersebut. Temuan dalam penelitian Brusdal dan Berg (2010) menjelaskan bahwa dukungan finansial orang tua cenderung mempunyai efek yang sedang pada kecenderungan bias gender anak mereka. Laki-laki dan perempuan mempunyai kecenderungan yang berbeda dan seringkali menunjukkan perbedaan pola konsumsi. Dalam penelitian tersebut juga dijelaskan bahwa pola pendapatan remaja mengalami perubahan yang signifikan pada periode usia 15-18 tahun. Dukungan finansial orang tua juga semakin berkurang saat masa peralihan dari anak-anak ke remaja dan digantikan dengan dukungan lain berupa pekerjaan yang menguntungkan dan pinjaman.
Aitem kedua yang terjangkit DIF adalah aitem yang mengukur masalah dukungan informasional dari guru. Pada bagian ini terdapat tiga aitem yang terjangkit DIF, yaitu aitem delapan, sembilan, dan sepuluh. Aitem delapan mengukur tentang nasehat berguna dari guru. Pada aitem ini perempuan cenderung memberi skor tinggi dibandingkan laki-laki. Aitem sembilan mengukur tentang informasi berguna dari guru. Pada aitem ini perempuan juga cenderung memberi skor lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Aitem sepuluh pada sumber dukungan sosial dari guru juga terjangkit DIF. Aitem ini mengukur dukungan informasional dari guru untuk memperbaiki kesalahan. Pada aitem ini laki-laki cenderung memberi skor lebih tinggi dibandingkan perempuan.
Hasil ini sesuai dengan paparan Altermatt (2007) mengenai perbedaan gender dalam kesulitan akademis. Menurut hasil penelitian tersebut perempuan lebih suka mencari dan menerima dukungan sosial dari figur signifikan ketika mereka mendapatkan kesulitan akademis dibandingkan laki-laki dan dukungan tersebut diasosiasikan sebagai dampak yang positif. Dukungan sosial membawa dampak positif bagi siswa, dan sebaliknya, kekurangan dukungan sosial berdampak negatif pada siswa. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan pendapat Malecki dan Demaray (2003) yang mengemukakan bahwa perempuan merasakan tingkat dukungan yang lebih tinggi daripada laki-laki dari figur signifikan termasuk guru, teman satu kelas, dan teman dekat.
Temuan dalam penelitian ini juga bisa dikaitkan dengan hubungan antara jender dan lingkungan sosial di kelas (Midgley, 2002). Laki-laki cenderung lebih banyak menerima komentar tentang manajemen diri dan prosedur, dan lebih banyak menerima kritik daripada perempuan. Umpan balik negatif yang diberikan guru kepada siswa laki-laki cenderung lebih terfokus pada perilaku dan kurang terfokus pada kemampuan dan kecukupan intelektual dibandingkan umpan balik negatif yang diterima siswa perempuan.
Aitem ketiga yang terjangkit DIF adalah aitem yang mengukur masalah dukungan informasional dari teman dekat. Pada aitem ini laki-laki cenderung memberi skor lebih tinggi dibandingkan perempuan yang berarti bahwa laki-laki cenderung mudah menerima dukungan informasional berupa informasi berguna dari teman dekat dibandingkan perempuan. Penerimaan dukungan sosial dipengaruhi oleh banyak hal salah satunya adalah hubungan dengan teman dekat. Hasil ini bertentangan dengan beberapa penelitian menyatakan bahwa perempuan cenderung lebih dekat dengan temannya. Lerner dan Steinberg (2009) memaparkan bahwa perempuan menjalin pertemanan dua atau tiga arah, sedangkan laki-laki membentuk jaringan pertemanan yang lebih besar. Angier (1999) juga memaparkan bahwa perempuan membentuk hubungan dua arah dengan ekspektasi psikologis yang dalam dari teman dekat mereka. Berbeda dengan laki-laki, Chesler (2009) menjelaskan bahwa kebutuhan interpersonal laki-laki tidak sama dengan perempuan. Laki-laki kurang terbuka pada laki-laki yang lain, tidak seperti perempuan yang cenderung terbuka pada orang lain.
Bordens dan Horowitz (2002) menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki teman dekat dengan jumlah yang sama. Perempuan dibandingkan dengan laki-laki cenderung menganggap teman dekat mereka lebih penting, namun jangka waktu pertemanan dekat laki-laki lebih lama daripada perempuan. Laki-laki juga membedakan antara pertemanan dengan sesama jenis dan lawan jenis. Bagi laki-laki pertemanan dengan lawan jenisnya menawarkan kesempatan dalam keterbukaan diri dan kelekatan emosional. Secara umum, laki-laki mendapatkan penerimaan dan keintiman yang lebih dari teman perempuan daripada teman laki-laki.
Secara umum terjangkitnya aitem oleh DIF juga dikarenakan masalah budaya, terutama budaya yang berkaitan dengan gender di Indonesia. Perbedaan-perbedaan sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan melalui konstruksi sosial dan kultural membentuk karakteristik yang berlainan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan ini telah dibentuk, disosialisasikan, diperkuat serta dikonstruksikan secara sosial maupun kultural melalui proses yang panjang. Konstruksi sosial gender tersebut secara evolusional mempengaruhi aspek biologis dari masing-masing jenis kelamin. Konstruksi sosial mempengaruhi laki-laki dan perempuan pada banyak aspek, seperti kognitif dan perilaku.
Perbedaan juga dipengaruhi secara umum oleh lingkungan fisik dan lingkungan sosial menurut teori kognitif sosial (Social Cognitive Theory). Lingkungan fisik merupakan kondisi lingkungan yang sifatnya fisik, seperti suhu, ukuran ruangan, persediaan makanan, dll, sedangkan lingkungan sosial menekankan pada pengaruh keluarga, teman, teman sebaya, dan figur lainnya. Individu merespon pengaruh-pengaruh tersebut melalui berbagai cara seperti modeling dan imitasi. Remaja yang mengalami masa transisi memperkuat identitasnya dengan pembelajaran observasional melalui pengamatan terhadap figur-figur signifikan terutama terkait dengan perilaku yang sesuai dengan jender mereka. Pembelajaran tersebut mempengaruhi dan membentuk perilaku remaja diperkuat dengan adanya penghargaan dan hukuman (reward and punishment) dari lingkungan.
Dinamika teori kognisi sosial dalam perkembangan jender menekankan pada terbentuknya diferensiasi gender yang dipengaruhi oleh determinan atau aspek-aspek psikologis, biologis, dan sosiokultural (Bussey & Bandura, 1999). Pengaruh pada aspek-aspek tersebut bisa menimbulkan perbedaan respon dalam skala dukungan sosial ini, bahkan respon yang diberikan mengacu pada bagaimana subjek bersikap sesuai dengan konstruksi budaya mereka.
Penelitian ini memiliki keterbatasan, yaitu sampel yang cukup banyak dalam penelitian ini namun kurang beragam, sehingga data yang didapatkan kurang variatif. Peneliti mengurangi keterbatasan ini dengan cara memperbanyak jumlah subjek dari tiap sekolah. Keterbatasan ini tidak mempengaruhi hasil penelitian ini karena dari data yang diperoleh dari kedua sampel tersebut telah menggambarkan hasil penelitian yang valid dan reliabel.