Skala Kepribadian merupakan alat yang dapat digunakan untuk memperkuat validitas sistem seleksi kerja (Schmidt & Hunter, 1998 dalam Chan, dkk. 2001). Selama lebih dari 30 tahun para ilmuan psikologi berkutat dengan masalah tipuan yang diberikan subjek dalam merespon aitem tes kepribadian (Smith, 1999). Silverthorn and Gekoski (1995) dalam Beere, dkk (1996) menyatakan bahwa beberapa tes pengukuran diri dapat dipengaruhi oleh aspek kepatutan sosial. Perhatian utama dari para pengguna skala pelaporan pribadi yang meliputi skala kepribadian dan psikopatologi adalah adanya kerentanan skala-skala tersebut terhadap adanya tipuan (Anastasi, 1988 dalam Holden, dkk 1992). Hasil penelitian membuktikan bahwa tes non-kognitif seperti halnya pengukuran kepribadian dan biodata rentan terhadap bias tipuan yang dilakukan oleh subjek (Hough et al., 1990; Kluger, Reilly, & Russell, 1991; Ones, Viswesvaran, & Korbin, 1995 dalam Douglas, dkk 1996). Lautenschlager dan Flaherty (1990) dalam Beere, dkk (1996) membuktikan bahwa kepatutan sosial dapat berpengaruh dalam penggunaan skala pengukuran diri yang digunakan untuk mengukur emosi, sikap, dan karakteristik kepribadian lainnya.
Salah satu masalah yang paling menonjol dalam konstrak kepribadian pada seleksi personal adalah apakah suatu alat pengukuran kepribadian dapat dikacaukan oleh usaha yang sengaja dilakukan untuk membuat kesan positif, yang biasa disebut kebohongan atau manajemen impresi (Robie, Zickar, Schmit, 2001). Pendapat tadi juga diperkuat oleh Gillis, Rogers, & Dickes, (1990); Krahe, (1989) yang menyatakan bahwa masalah utama pada skala pelaporan diri kepribadian adalah rentannya skala tersebut terhadap tipuan respon. Penelitian menunjukkan bahwa responden memiliki kemampuan untuk menipu pada kelompok tes kepribadian (dalam Brown & Harvey, 2003). Perhatian utama dari para ilmuan psikologi di bidang industri organisasi adalah tentang penggunaan alat tes psikologi yang dapat digunakan dalam proses seleksi personal yang mengandung potensi tipuan respon (Hogan & Nicholson, 1988; Nunnally, 1978; Zerbe & Paulhus, 1987 dalam Deniz, dkk .1996). Seorang subjek dalam merespon aitem skala kepribadian terdorong untuk menjawab sesuai dengan nilai-nilai kepatutan sosial dikarenakan berbagai hal. Para tokoh psikologi berusaha memberikan sebab mengapa para subjek cenderung melakukan hal itu. Adanya bias respon merupakan salah satu kekurangan yang paling sering ditemukan dalam penggunaan alat ukur kepribadian untuk proses seleksi personal (Ones, Viswesvaran, & Reiss, 1995 dalam Douglas, dkk. 1996).
Hal ini disebabkan karena ada kemungkinan para pelamar pekerjaan telah mempersiapkan diri mereka untuk menjawab dengan tidak jujur pada alat ukur kepribadian (Whyte, 1957; Gross, 1962 dalam Barlett & Richard, tanpa tahun). Para pelamar kerja terdorong untuk memperlihatkan diri mereka sebaik mungkin, adanya kelemahan aitem membuat para responden dapat menampilkan diri terlihat baik, sehingga sangat mungkin terjadi adanya kebohongan (Rosse, Stecher, Miller, & Levin, 1998 dalam Steffens. 2004). Leary and Kowalski (1990) berpendapat bahwa seseorang akan terdorong untuk mengatur kesan ketika kesan yang mereka berikan berkaitan erat dengan pencapaian tujuan mereka dan ketika tujuan tersebut sangat berharga (dalam Ryan, dkk. 2002). Seperti pendapat dari Furnham (1986) bahwa seseorang pada umumnya akan berusaha untuk merubah dirinya menjadi terlihat baik dalam situasi tertentu dimana orang akan memberikan penilaian bahwa dirinya baik (dalam Jackson, dkk. 2000). Cahalan (1968) berpendapat bahwa subjek melaporkan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kepatutan sosial adalah untuk melindungi gambaran diri mereka di mata orang lain (dalam Gordon, 1987).
Dalam dunia kerja, bias kepatutan sosial juga terjadi. Berbagai faktor dapat mendorong responden untuk memberikan respon sesuai dengan apa yang mereka percayai lebih patut secara sosial daripada jawaban yang sesungguhnya benar, hal ini dipengaruhi oleh situasi dimana penelititan tersebut dilakukan (Parkes, 1980) dan keyakinan responden mengenai tujuan dari penelitian tersebut, responden merasa bahwa jawaban mereka akan berpengaruh pada kesempatan promosi, gaji, dan keamanan kerja (dalam Razavi. tanpa tahun). Stokes, Hogan dan Snell (1993) berpendapat bahwa para pelamar pekerjaan sepertinya lebih senang untuk mengatur impresi mereka daripada para karyawan yang sudah bekerja dikarenakan adanya motivasi untuk meningkatkan kemungkinan memperoleh pekerjaan (dalam Douglas, dkk 1996). Pendapat dari Stokes, Hogan dan Snell (1993) tersebut didukung oleh hasil temuan dari Christiansen, Goffin, Johnston, & Rothstein, 1994; Ellingson et al., 1999; Hough, 1998 yaitu adanya peningkatan skor yang didapat dari penelitian eksperimen dilaboraturium dengan penelitian kenyataan dilapangan yang membuktikan bahwa adanya kebohongan dapat berpengaruh terhadap kepada siapa saja yang diterima dalam suatu pekerjaan, hal ini berdasarkan nilai rerata dan tingkatan skor para pelamar pekerjaan tersebut ( dalam Ryan, dkk. 2002). Bukti adanya bias kepatutan sosial dalam tes seleksi kerja karyawan juga ditemukan oleh (Furnham, 1986, 1990 dalam Jackson, dkk. 2000).
Dalam keadaan dimana seorang individu akan mendapatkan keuntungan, maka ia cenderung akan memberikan kesan yang baik, seperti misalnya dalam situasi seleksi kerja, bias kepatutan sosial merupakan menjadi masalah utama (Levin & Montag, 1987 dalam Deniz, dkk. 1996). Seperti pendapat dari Denis, dkk (1996) bahwa adanya bias kepatutan sosial merupakan masalah utama dalam suatu tes seleksi kerja karyawan. Hal itu disebabkan karena bias kepatutan sosial dapat mempengaruhi hasil skor tes kerja para pelamar, hingga pada akhirnya akan mempengaruhi karyawan yang diterima oleh perusahaan tersebut. Hal ini mengakibatkan karyawan yang diterima mungkin saja bukan orang yang seharusnya diterima, tetapi karena ia menjawab sesuai dengan nilai-nilai yang patut secara sosial, ia diterima. Hal seperti ini tentu saja sangat merugikan perusahaan disatu sisi, dan karyawan berpotensi yang seharusnya diterima di sisi lain.
Dalam bidang industri organisasi, bias kepatutan sosial tidak hanya terjadi dalam proses seleksi karyawan, namun juga dilakukan oleh para karyawan yang sudah bekerja dalam suatu perusahaan. Whyte (1956) berpendapat bahwa jika seorang karyawan diperintah oleh perusahaan untuk menunjukkan perasaan mereka yang paling dalam tentang perusahaan, orang tersebut akan memberikan jawaban yang akan menyelamatkan dirinya sendiri daripada menyatakan keadaan perusahaan yang sebenarnya (dalam Razavi. tanpa tahun). Jawaban para karyawan tersebut akan berpengaruh pada kesempatan promosi, gaji, dan keamanan kerja (dalam Razavi. tanpa tahun). Tidak hanya di dunia kerja, subjek merespon jawaban sesuai dengan nilai-nilai kepatutan sosial dalam berbagai situasi, misalnya saja dalam penelitian. Seseorang dapat memalsukan jawaban mereka pada skala pelaporan pribadi sesuai dengan apa yang diharapkan oleh eksperimenter (Hough, Eaton, Dunnette, Kamp, & Mc-Cloy, 1990 dalam Holden, dkk. 2001). Subjek merasa bahwa dengan merespon sesuai dengan harapan eksperimenter, ia akan mendapatkan keuntungan tertentu dari hasil penelitian tersebut.
Dalam dunia peradilan dan hukum juga seringkali terjadi adanya fakta bahwa responden menjawab sesuai dengan nilai-nilai kepatutan sosial. Blanchard, dkk. (2003) menemukan fakta bahwa responden dapat mengambil keuntungan dalam dunia peradilan dengan cara berpura-pura sakit dengan membuat pelaporan atau pernyataan yang dibuat berlebih-lebihan. Berbagai masalah yang ditimbulkan karena adanya bias kepatutan sosial ini pada akhirnya mendorong digunakannya skala untuk mengendalikan adanya kebohongan (Schmidt & Hunter, 1998 dalam Chan, dkk. 2001). Beberapa skala memang sengaja diciptakan untuk mengukur berbagai bentuk dari pengacauan respon yang meliputi (social desirability, impression management, self deception, defensiveness, faking good) ( Dilchert, dkk. 2006). Pengacauan respon seperti ini dalam berbagai literatur memiliki beberapa istilah lain seperti kepatutan sosial (social desirability), manajemen impresi (impression management), kebohongan (faking), pengacauan skor yang disengaja (intentional distortion), dan peningkatan keadaan diri (self enhancement) (Hough, Eaton, Dunnette, Kamp, & McCloy, 1990; Lautenschlager, 1994; Ones, Viswesvaran & Korbin, 1995 dalam Douglas, dkk. 1996). Dalam banyak penelitian, aspek tipuan respon jawaban banyak disamakan dengan bias kepatutan sosial. Kepatutan sosial menjadi salah satu sumber bias yang paling umum dan secara fatal dapat merusak validitas suatu temuan penelitian (Nederhof, 1985 dalam Matthews, dkk 2003). Respon yang mengandung bias kepatutan sosial dalam penelitian ternyata sulit untuk diatasi (Smith, 2001).
Fungsi skala pengukuran bias kepatutan sosial seperti ini adalah untuk mendeteksi kemungkinan jawaban responden yang sengaja dibuat untuk memberi kesan yang baik. Adanya korelasi antara skor skala kepribadian dengan skala kepatutan sosial menunjukkan bahwa pengukuran mengenai dimensi kepribadian tersebut rentan terhadap jawaban yang mengandung aspek kepatutan sosial (Edwards, 1957; Esposito, Agard, & Rosnow, 1984 dalam Deniz, dkk. 1996). Menurut Magnus, dkk. (2006) bias kepatutan sosial dapat menjadi suatu masalah dalam membuat suatu keputusan dikarenakan terdapat perbedaan individual mengenai kemampuan dan motivasi untuk merespon pertanyaan sesuai dengan sikap yang patut dalam norma sosial diantara responden. Adanya eror pengukuran seperti tipuan respon dan kepatutan sosial merupakan salah satu penyebab suatu instrumen pengukuran menjadi tidak valid dan reliabel. King dan Bruner (2000) menyatakan, salah satu sumber potensial eror jawaban dalam data skala pelaporan diri adalah adanya kecenderunan individu untuk menampilkan diri mereka sesuai dengan nilai-nilai kepatutan sosial. Kecenderungan seperti ini secara umum disebut sebagai bias kepatutan sosial yang didalamnya berisi laporan diri tentang sikap dan perilaku sebaik mungkin atau bisa juga menjadi rendah sesuai dengan nilai-nilai kepatutan sosial.
Kepatutan sosial dapat menjadi masalah utama terhadap validitas skor skala pelaporan diri dan penarikan kesimpulan (Collazo, 2005). Menurut Paulhus (1984), Bias Kepatutan Sosial didefinisikan sebagai kecenderungan untuk merespon dimana hal itu akan membuat responden terlihat baik. Penelitian tentang hal ini telah dilakukan sejak tahun 1950-an (Beretvas, dkk, 2002). Masalah utama yang dapat ditimbulkan oleh adanya bias kepatutan sosial yang paling umum adalah dapat berakibat fatal terhadap validitas hasil suatu penelitian (Nederhof, 1985 dalam Matthews, dkk. 2003). Hasil penelitian Schmit and Ryan (1993) juga membuktikan bahwa aspek kepatutan sosial berdampak pada validitas konstrak (dalam Dilchert, dkk. 2006). Magnus, dkk (2006) menyatakan bahwa jawaban yang mengandung kepatutan sosial telah lama diteliti terkait dengan asesmen kepribadian yang dikhawatirkan dapat melemahkan validitas prediktif dari suatu keputusan yang dibuat dengan proses asesmen tersebut.
Fakta yang ditemukan (Holden & Jackson, 1981) bahwa skor tes yang diperoleh dari tes yang dijawab dengan tipuan respon terbukti memiliki validitas yang lebih rendah jika dibandingkan dengan jawaban responden yang diperintah untuk menjawab jujur. Adanya kovarian antara skala kepribadian dengan skala yang sengaja dibuat untuk mengukur jawaban yang mengandung aspek kepatutan sosial menunjukkan adanya kekhawatiran terhadap validitas skala kepribadian tersebut disebabkan karena adanya aspek dalam skor penelitian yang tidak berhubungan dengan aspek kepribadian yang sedang diukur atau yang lebih dikenal dengan varians eror (dalam Smith, dkk. 2002). Ancaman terhadap validitas alat pengukuran kepribadian pada lapangan industri terjadi karena para pelamar pekerjaan berbohong ketika menjawab aitem pada tes kepribadian yang diberikan (Guion & Gottier, 1965 dalam Barlett, dkk. tanpa tahun). Secara umum dapat dikatakan bahwa bias kepatutan sosial juga dapat merusak hasil dari alat pengukuran kepribadian (e.g., Schmit & Ryan, 1993), bias kepatutan sosial juga dapat terjadi pada proses seleksi (e.g., Anderson, Warner, & Spector, 1984), penipuan jawaban juga berakibat pada keputusan yang salah pada rekrutmen pekerja (e.g., Christiansen, Goffin, Johnston, & Rothstein, 1994; Hough, 1998; Rosse, Stecher, Miller, & Levin, 1998; Zickar, Rosse, & Levin, 1996) dalam Zickar, dkk 2001). Adanya kebohongan atau bias kepatutan sosial pada jawaban dapat mempengaruhi estimasi theta skor tes yang dihitung dengan teori respon aitem (IRT; Zickar & Drasgow, 1996), struktur faktor dari batterei tes kepribadian (e.g., Schmit & Ryan, 1993), dan penggunaan sistem seleksi dengan metode atas ke bawah (top-down) (Douglas et al., 1996; Zickar, Rosse, & Levin; 1996) dalam Stark, 2001).
Penelitian lainnya menunjukkan bahwa kebohongan dapat berpengaruh pada skor total suatu alat tes (Hough et al., 1990; Kluger et al., 1991), merusak korelasi diantara sub-skala (Douglas, McDaniel, & Snell, 1996), dan dapat merusak validitas kriteria (Douglas et al., 1996 dalam Stark & Chernyshenko, 2001). Hasil penelitian Zickar dan Robie (1999) dalam Zickar, dkk (2001) menunjukkan bahwa pengacauan respon berpengaruh terhadap alat ukur kepribadian baik pada tingkat aitem maupun skala terutama pada aitem yang jelas terlihat lebih dapat ditipu daripada yang lain. Dengan adanya fenomena fenomena tipuan respon dan kepatutan sosial yang memiliki beberapa dampak negatif terhadap skor tes kepribadian. Para peneliti berusaha untuk mengembangkan beberapa metode guna membersihkan skor skala kepribadian dengan cara menghilangkan adanya varians yang berhubungan dengan aspek kepatutan sosial (Paulhus, 1986, 1991 dalam Smith, dkk 2002). Menurut Zickar & Drasgow (1996) dalam Brown & Harvey (2003) terdapat 3 metode untuk mendeteksi tipuan respon, diantaranya adalah:
a). membuat aitem yang sulit untuk ditipu, metode ini juga dipakai oleh Jackson (2000) dalam penelitiannya.
b). menggunakan skala yang dapat menjamin validitas skala kepribadian dengan mendeteksi respon yang janggal,
c). memeriksa respon mana saja yang biasanya cenderung ditipu oleh subjek
Selain menggunakan 3 metode tersebut, Zickar, dkk (2004) memberikan cara untuk mendeteksi kebohongan adalah yaitu dengan memberikan instruksi yang berbeda tiap kelompok. Kelompok pertama diinstruksikan untuk merespon jawaban dengan sebaik-baiknya yang berarti menunjukkan adanya bias kepatutan sosial, sedangkan kelompok lain diinstruksikan untuk menjawab dengan jujur sesuai dengan keadaan dirinya. Metode pemberian instruksi seperti ini juga dipakai dalam beberapa penelitian lainnya seperti dalam Chan, dkk (2001), dalam Thornton, dkk (1980), dalam Loo, dkk (1979). Zickar, dkk (2004) dalam Blake (2005) berpendapat kebanyakan penelitian meneliti tentang perbedaan antara responden yang memiliki motivasi tinggi untuk berbohong (contohnya pelamar pekerjaan atau yang diinstruksikan untuk berbohong) dan responden yang memiliki motivasi yang rendah untuk berbohong (contohnya orang yang sudah bekerja atau responden yang diinstruksikan untuk menjawab dengan jujur). Penelitian yang dilakukan oleh Stark & Chernyshenko (2001) menyatakan bahwa pengaruh tipuan pada skor tes kepribadian dapat diketahui dengan cara membandingkan kelompok eksperimen yang diperintahkan untuk berbohong atau menjawab jujur. Hal ini dikarenakan bahwa responden dapat memberikan respon menipu ketika ia diminta untuk melakukan hal itu (Dunnette, McCartney, Carlson, & Kirchner, 1962; Hough, Eaton, Dunnette, Kamp, & McCloy, 1990; Kluger, Reilly, & Russell, 1991; Rosse, Stecher, Miller, & Levin, 1998 dalam Stark, dkk. 2001).
Pengaruh perbedaan situasional yang berpengaruh pada bias kepatutan sosial dan tipuan respon dibuktikan oleh penelitian Barrick dan Mount (1996) yang menemukan perbedaan yang signifikan diantara rerata skor skala kepribadian yang dijawab oleh pelamar pekerjaan (dimana mereka memiliki motivasi yang lebih tinggi untuk menipu) dengan orang yang sudah bekerja (dalam Brown & Harvey, 2003). Metode lain yang dipakai untuk mengendalikan pengaruh kebohongan atau bias kepatutan sosial yang dilakukan oleh para pelamar pekerjaan adalah dengan cara mengacak aitem tes (Anastasi, 1976 dalam Graham, dkk. 2002). Prosedur pengacakan aitem ini dilakukan dengan cara menyebar aitem pada sub-skala yang digunakan dalam tes tersebut. Pengacakan aitem seperti ini dipercaya akan membuat responden lebih sulit untuk menandai jawaban tepat dalam suatu pengukuran, sehingga responden juga akan sulit untuk berbohong (Graham, 2002). Hal ini disebabkan karena aitem yang diberikan bersamaan dalam sebuah kelompok skala, maka akan mudah bagi responden menduga apa yang diukur oleh aitem-aitem tersebut (Bornstein et al., 1994 dalam Ryan, 2002)
Metode Penggunaan pilihan mengikat (forced choice) dan pendekatan ipsatif juga dapat digunakan untuk mengurangi adanya bias kepatutan sosial (Razavi, tanpa tahun). Metode lain yang dapat digunakan untuk mengurangi bias kepatutan sosial adalah dengan memberikan perintah dalam menjawab pertanyaan dengan cara tidak menuliskan nama. Cahalan (1968) berpendapat bahwa subjek melaporkan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kepatutan sosial adalah untuk melindungi gambaran diri mereka di mata orang lain. Dengan asumsi demikian, maka untuk mengurangi bias kepatutan sosial adalah dengan cara meminta subjek untuk tidak menuliskan nama mereka ketika menjawab pertanyaan penilitian (dalam Gordon, 1987). Pendapat ini didukung hasil penelitian bahwa partisipan memiliki tingkat kecemasan dan kepatutan sosial ketika mereka diminta menggunakan internet daripada mengisi angket penelitian dengan pensil Joinson (1999). Pengisian jawaban skala kepribadian melalui internet dilakukan dengan tidak menuliskan nama asli mereka dan tidak dilakukan dengan bertemu secara langsung dengan peneliti, sehingga dapat mengurangi pengaruh bias kepatutan sosial.
Bias kepatutan sosial juga dapat dikurangi dengan cara membuat aitem-aitem pertanyaan yang tidak menyudutkan subjek (Gordon, 1987). Hal ini disebabkan adanya aitem-aitem pertanyaan yang menyudutkan subjek dapat membuat subjek merasa tertekan hingga pada akhirnya jawaban yang diberikan dalam tes kerja atau penelitian adalah bentuk upaya untuk keluar dari tekanan yang menyudutkan dirinya. Metode teori respon aitem juga dapat digunakan untuk mengendalikan bias kepatutan sosial. Zickar, dkk (2001) menggunakan metode teori respon aitem (item response theory, IRT) untuk mengendalikan bias kepatutan sosial dalam tes kerja, mereka menemukan perbedaan nilai rerata diantara pelamar pekerjaan dan juga orang yang sudah bekerja (dalam Zickar, dkk. 2004). Pendapat dari Zickar dkk (2001) juga senada dengan pendapat Chan, dkk (2001) yang menyatakan bahwa teori respon aitem digunakan untuk mengetahui adanya kebohongan dalam suatu tes penelitian.
Salah satu metode yang saat ini masih jarang dilakukan untuk mendeteksi pengaruh tipuan respon dan kepatutan sosial pada skor jawaban skala kepribadian adalah dengan mengembangkan skala yang dapat menjamin validitas skala kepribadian. Skala kepatutan sosial dapat digunakan untuk mendeteksi adanya bias kepatutan sosial dan kemudian melakukan control secara statistik untuk menghilangkan bias respon tersebut (Razavi, tanpa tahun). Ada beberapa skala yang telah dibuat untuk mendeteksi dan mengurangi pengaruh bias kepatutan sosial dan tipuan respon pada skala psikologis kepribadian diantaranya antara lain Skala Kepatutan Sosial Marlowe-Crowne, (Marlowe & Crowne, 1960), Skala Kepatutan Sosial Jackson (Jackson, 1984), Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI) Lie Scale, the Wiggins Social Desirability Scale (dalam Nolder, 1990). Dari sekian banyak skala kepatutan sosial seperti Skala Kepatutan Sosial Marlowe-Crowne, (Marlowe & Crowne, 1960), Skala Kepatutan Sosial Jackson (Jackson, 1984), Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI) Lie Scale, the Wiggins Social Desirability Scale (dalam Nolder, 1990) Skala Kepatutan Sosial Marlowe-Crowne merupakan salah satu alat yang paling sering digunakan dalam pengukuran tingkat bias kepatutan sosial. Skala Kepatutan Sosial Marlowe-Crowne (Crowne & Marlowe, 1960) dibuat berdasarkan definisi dari kepatutan sosial yang diartikan sebagai kebutuhan seseorang untuk diterima dengan cara merespon sesuai dengan nilai-nilai budaya yang tepat dan dapat diterima (Collazo, 2005).
Beberapa sumber data menyebutkan bahwa Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne telah digunakan sejak 1960. Sumber data tersebut meliputi PsycINFO, ERIC, Sosiological Abstract, dan Social Sciences Abstract. Terdapat 1.069 artikel dan disertasi yang menggunakan Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne dalam proses penelitiannya. Kebanyakan artikel tersebut tidak memberikan estimasi nilai reliabilitas untuk setiap sampel penelitian yang menggunakan Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne. Dari jumlah total sebanyak 1.069 artikel, hanya 3,93 % yang memberikan estimasi reliabilitas untuk memperkuat reliabilitas skor partisipan yang menggunakan Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne (Beretvas, 2002). Selain minimnya data tentang reliabilitas dari Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne, data mengenai validitas skala ini juga kurang tersedia. Penelitian awal tentang validitas dari Skala Kepatutan Sosial Marlowe-Crowne didapat dari skor jawaban sampel dari para lulusan sekolah yang berumur 19 hingga 46 tahun (Beretvas, 2002). Skala Kepatutan Sosial digunakan untuk mendukung validitas survey psikologi. Kebanyakan skala seperti itu digunakan dalam perhitungan korelasi antara skor pada skala kepatutan sosial dengan instrumen psikologi lainnya, para peneliti berharap bahwa korelasi diantara keduanya tidak besar, yaitu dengan cara mencari angka validitas diskriminan yang berfungsi untuk merespon skala fokal, hal itu dapat menunjukkan bahwa skor yang ada pada skala tersebut tidak dikacaukan oleh adanya kecenderungan responden dalam memberikan respon yang patut secara sosial (Beretvas, 2002).
Secara umum dapat dikatakan bahwa jawaban yang mengandung bias kepatutan sosial mungkin menambah varians skor skala kepribadian dimana hal ini tidak akan terjadi jika subjek memiliki jawaban dengan kecenderungan kepatutan sosial yang rendah (Lönnqvist, 2008). Karena peran Skala Pengukuran Bias Kepatutan Sosial, khususnya Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne yang sangat penting dalam ranah penelitian di bidang Psikologi, pendidikan, manajemen dan berbagai bidang lainnya, penelitian ini berusaha untuk melakukan validasi terhadap skala kepatutan sosial yang paling sering digunakan di dalam penelitian mengenai bias kepatutan sosial, yaitu Skala Kepatutan Sosial Marlowe-Crowne dalam bahasa Indonesia. Sesuai dengan definisi tentang proses validasi yang diberikan Hadi (Hadi, 1994) bahwa validation adalah pekerjaan untuk mencari validitas suatu alat pengukur. Prinsip validation adalah membandingkan hasil-hasil dari pengukuran dengan suatu kriterium, suatu ukuran yang telah dipandang valid untuk menunjukkan faktor yang dimaksud.
Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne dan BIDR yang dipakai dalam penelitian ini masih dalam versi bahasa aslinya, yaitu bahasa Inggris, sehingga peneliti harus melakukan validasi kedua skala ini dalam bahasa dan budaya Indonesia terlebih dahulu. Ada beberapa tahapan dalam melakukan validasi suatu skala atau tes, adaptasi tes meliputi aktivitas mulai dari menentukan apakah suatu tes dapat mengukur konstrak yang sama dalam bahasa dan budaya yang berbeda, memilih penerjemah, dan menentukan metode yang tepat agar suatu tes dapat digunakan pada bahasa yang berbeda, dan mengecek kesetaraan hasil adaptasi tes yang telah dilakukan (Hambleton, 2005). Pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah seberapa besar nilai validitas konvergen dan validitas diskriminan dari Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne dalam konteks bahasa dan budaya Indonesia. Untuk menentukan besarnya nilai validitas konvergen, peneliti menghitung korelasi antara skor Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne dengan Skala BIDR, sedangkan untuk menentukan besarnya nilai validitas diskriminan, peneliti menghitung korelasi antara skor Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne dengan Skala Harga Diri Coopersmith dan Rosenberg.
Semakin tinggi korelasi antara skor Skala Kepatutan Sosial Marlowe dengan Skala BIDR, maka semakin baik pula validitas konvergen yang ditunjukkan oleh Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne. Hal ini sesuai dengan landasan teoritis dari validitas konvergen yaitu bahwa tes yang direncanakan untuk mengukur konstrak yang sama akan mempunyai korelasi yang tinggi (Prakosa, 1995). Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne dan Skala Manajemen Impresi dan Penipuan Diri BIDR mengukur konstrak yang sama, yaitu bias kepatutan sosial, sehingga semakin tinggi korelasi diantara dua skala tersebut, semakin tinggi pula nilai validitas konvergen keduanya. Sebaliknya semakin rendah korelasi antara skor Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne dengan Skala Harga Diri Coopersmith dan Rosenberg, hal itu justru menunjukkan semakin baik validitas diskriminan yang ditunjukkan Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne. Hal ini disebabkan karena tes yang direncanakan untuk mengukur konstrak yang berbeda mempunyai korelasi yang rendah (Prakosa, 1995). Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne mengukur konstrak bias kepatutan sosial, sedangkan Skala Harga Diri Rosenberg dan Coopersmith mengukur konstrak harga diri, sehingga semakin rendah korelasi diantara skala-skala tersebut, justru semakin tinggi validitasnya.
Metode
Secara teoritis validitas konvergen Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne dibuktikan dengan adanya korelasi yang tinggi antara variabel kepatutan sosial dengan impresi positif dan penipuan diri. Sedangkan validitas diskriminan Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne dibuktikan dengan adanya korelasi yang rendah antara variabel kepatutan sosial dengan harga diri. Proses validasi Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne ini sesungguhnya merupakan pengujian terhadap validitas konstrak. Pengujian validitas skala Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne dilakukan dengan cara mengukur korelasi antara skala ini dengan skor skala BIDR yang keduanya sama-sama mengukur tentang aspek bias kepatutan sosial, hasil korelasi tersebut akan menghasilkan validitas konvergen. Dasar fikiran dalam validasi ini adalah bahwa adanya validitas yang baik diperlihatkan oleh korelasi yang tinggi antara dua pengukuran terhadap trait yang sama. Secara operasional kriteria ini bisa juga dikatakan bahwa harga r harus lebih besar atau sama dengan 0,30 ( r ≥ 0,30). Batasan besarnya harga validitas ini berdasar professional judgment, seperti yang disarankan Azwar (1992). Koefisien validitas kurang dari 0,30 biasanya dianggap kurang memuaskan (Prakosa, 1995).
Selain hasil validitas konvergen, untuk melengkapi validitas Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne perlu diketahui validitas diskriminan. Dasar pemikiran validitas diskriminan adalah bahwa tes yang direncanakan untuk mengukur konstrak yang berbeda mempunyai korelasi yang rendah (Prakosa, 1995). Pengukuran validitas diskriminan dilakukan dengan cara menghitung korelasi antara skor Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne dengan skor Skala Harga diri Rosenberg dan Coopersmith. Secara teoritis ketiga skala tersebut mengukur aspek yang berbeda. Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne mengukur aspek bias kepatutan sosial, sedangkan Skala Harga Diri Rosenberg dan Coopersmith mengukur aspek harga diri. Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne dapat dikatakan memiliki validitas diskriminan yang baik jika hasil korelasi skala ini dengan Skala Harga Diri Rosenberg dan Coopersmith rendah, dimana nilai korelasinya berkisar dibawah 0,30 sesuai dengan batasan besarnya harga validitas ini berdasar professional judgment, seperti yang disarankan Azwar (1992) dalam (Prakosa, 1995).
Selain mengukur validitas Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne, perlu juga diketahui hasil dari perhitungan reliabilitas skala ini. Karena selain valid, sebuah alat ukur skala juga harus bersifat reliabel. Reliabilitas berasal dari kata reliability yang mempunyai asal kata rely dan ability. Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi disebut sebagai pengukuran yang reliabel (Azwar, 2008). Problem pokok dari reliabilitas pengukuran berkisar pada persoalan stabilitas skor, persoalan tentang kemantapan reading atau kekonstanan hasil pengukuran (Hadi, 1994). Kepatutan sosial adalah kecenderungan partisipan untuk menjawab mengikuti norma yang sesuai dengan aturan sosial atau kecenderungan seseorang untuk memperlihatkan bahwa dirinya dipandang baik (Strahan & Gerbasi, 1972 dalam Cuellar, 2005). Kepatutan sosial diukur dengan menggunakan Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne yang telah diadaptasi oleh penulis dalam bahasa Indonesia. Manajemen Impresi adalah keadaan dimana orang dengan sengaja menampilkan dirinya sesuai dengan norma kepatutan (Judd, 2009). Manajemen impresi merujuk pada upaya meningkatkan daya tarik orang lain (Widhiarso, dkk, 2007). Variabel ini diukur dengan menggunakan Skala BIDR. Menurut Paulhus & Reid (1991) penipuan diri adalah kecenderungan untuk memberikan diskripsi diri yang jujur tetapi dibesar-besarkan yang dilakukan secara tidak sadar yang merujuk pada gambaran diri yang diinginkan (Turner, 2007). Secara umum dapat dikatakan penipuan diri adalah bentuk pertahanan diri responden ketika menghadapi situasi yang membahayakan (Widhiarso, dkk, 2007). Variabel ini diukur dengan menggunakan skala BIDR. Menurut Rosenberg (1979) harga diri adalah penilaian seseorang yang menyeluruh tentang kebernilaian dan nilai dirinya yang dapat bernilai positif dan negatif (Jonathan, 2008).
Partisipan
Subjek penelitian ini adalah mahasiswa Fakkultas Psikologi UGM. Pemilihan subjek berdasarkan tehnik pengambilan sampling random. Jumlah subek yang berpartisipasi dalam penelitian adalah 177 orang mahasiswa dengan latar belakang umur, suku, jenis kelamin, dan angkatan yang berbeda. Jumlah subjek pria sebanyak 58, sedangkan subjek wanita sebanyak 119 orang. Rata-rata umur subjek adalah 20,03 tahun, yang berkisar antara 16 sampai dengan 23 tahun.
Instrumen
Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne. Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crown paling banyak digunakan untuk mengukur aspek bias kepatutan sosial. Kepatutan sosial adalah kecenderungan partisipan untuk menjawab mengikuti norma yang sesuai dengan aturan sosial atau kecenderungan seseorang untuk memperlihatkan bahwa dirinya dipandang baik (Strahan & Gerbasi, 1972 dalam Cuellar, 2005). Kepatutan sosial diukur dengan menggunakan Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne yang telah diadaptasi oleh penulis dalam bahasa Indonesia.
Beberapa bentuk pendek Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crown asli terdiri dari 33 aitem digunakan oelh para peneliti untuk menyelidiki jawaban yang berpotensi mengandung bias kepatutan sosial terhadap skala lainnya. Skala ini terdiri dari 33 aitem benar–salah mengenai perilaku sehari-hari. 18 aitem dari skala ini membahas tentang aitem penerimaan sosial dimana jawaban “benar” akan diberikan poin satu, hal itu menunjukkan adanya kecenderungan yang lebih kuat untuk merespon sesuai dengan kepatutan sosial jika dibandingkan dengan seseorang yang menjawab “salah”. contoh aitem tentang atribusi tersebut meliputi “ Sebelum memilih Saya meneliti kualifikasi seluruh kandidat” dan “ Saya tidak pernah benar-benar membenci seseorang”.
Sisanya, sebanyak 15 aitem merupakan aitem yang berupa penolakan dimana jika jawaban “salah” akan diberikan nilai 1 poin. Aitem-aitem tersebut tidak diterima menurut norma sosial tetapi merupakan perbuatan yang umum dilakukan. Salah satu contohnya adalah, “ Kadangkala saya suka menggosip” (Beretvas, dkk, 2002). Secara umum skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne berhubungan erat dengan skala yang mengukur aspek bias kepatutan sosial. Validitas konvergen skala ini didapatkan dari penelitian Paulhus yang mendapatkan korelasi antara skor total BIDR dan Skala Kepatutan Sosial Marlowe-Crowne dengan nilai r = 0,71 (Crowne & Marlowe, 1960; Paulhus, 1991 dalam Graham, 2003). Sedangkan validitas diskriminan ditunjukkan dengan korelasi Skala Kepatutan Marlowe Crowne dengan Skala Harga Diri Rosenberg rxy = – 0,428 (p = 0,05) (Kirchner, 2003). Nilai estimasi konsistensi internal dari Skala Kepatutan Marlowe Crowne (1960), rxx’ = 0,88 dengan subjek sejumlah 39 lulusan universitas, sedangkan nilai reliabilitas tes ulang, r = 0,89 yang dihitung dari skor 31 mahasiswa (Beretvas, dkk, 2002). Dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Ballard, 1992; Fraboni & Cooper, 1989; Loo & Thorpe, 2000; Paulhus, 1991; Reynolds, 1982; Strahan & Gerbasi, 1972) estimasi reliabilitas skor Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne yang telah dilaporkan adalah nilai koefisien alpha dan KR-20 (Beretvas et al., 2002). Nilainya berkisar antara 0,72 hingga 0,88 dengan sampel mahasiswa lulusan universitas dan orang dewasa (dalam Collazo, 2005). Robinson, Shaver, dan Wrightsman (1991) menyebutkan hasil penelitian dari Paulhus bahwa rerata dari Skala Kepatutan Marlowe Crowne berkisar antara 12,3 (SD = 4,3) hingga 16,4 ( SD = 6,8). Skala Kepatutan Marlowe Crowne memiliki rerata sebesar 16,35 ( SD = 3,452) pada responden berkulit putih dan 18,85 ( SD = 4,445) untuk responden berkulit hitam. (Kirchner, 2003)
Skala BIDR (Balanced Inventory of Desirable Responding). BIDR yang terdiri atas 40 aitem Pelaporan Diri yang menujukkan kecenderungan seseorang untuk memberikan respon yang sesuai dengan harapan kepatuan sosial pada skala pelaporan diri. Keistemewaan utama dari BIDR adalah mampu mengidentifikasi sub skala dari respon yang mengandung bias sosial yang sangat penting dan masing-masing terpisah yaitu: Kebohongan Diri dan Manajemen Kesan. Menurut Paulhus & Reid (1991) penipuan diri adalah kecenderungan untuk memberikan diskripsi diri yang jujur tetapi dibesar-besarkan yang dilakukan secara tidak sadar yang merujuk pada gambaran diri yang diinginkan. Manajemen impresi adalah kesadaran dalam membesar-besarkan diskripsi diri, penipuan, atau kebohongan, yang menunjukkan tingginya kebutuhan untuk menunjukkan dirinya sesuai dengan situasi tertentu. Skala Manajemen Impresi Paulhus (1988) mengukur bias respon yang sengaja dilakukan, sedangkan skala Penipuan Diri mengukur bias respon yang dilakukan dengan tidak sengaja. Contoh aitem dari Skala Manajemen Impresi adalah “ Saya benar-benar tidak peduli tentang apa yang orang lain pikir mengenai diri saya” dan contoh aitem Penipuan Diri seperti “ Saya tidak pernah menutupi kesalahan saya” (Turner, 2007).
Partisipan memberikan persetujuan dengan mengisi setiap pernyataan menurut 7 poin skala Likert, yang berkisar dari tidak benar hingga sangat benar. Skor tinggi mengesankan adanya respon yang ingin dilebih-lebihkan (Camillus, 2007). Paulhus (1988) menyatakan bahwa BIDR terbukti berkorelasi dengan pengukuran perilaku yang mengikuti norma kepatutan sosial lainnya (Sandberg, 2008). Skala manajemen impresi BIDR dari Paulhus (1991) menurut sejarahnya berhubungan dengan Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne,karena isi dari Marlowe-Crowne SDS meliputi faktor penipuan diri dan manajemen impresi (Whelan, 2008). Untuk mendukung validitas konvergen, Paulhus (1991) melaporkan korelasi antara skor total BIDR dan Skala Kepatutan Sosial Marlowe-Crowne dengan nilai r = 0,71 (Graham, 2003). Penipuan diri menunjukkan adanya korelasi positif dengan pengaturan kesan yang berkisar dari 0,35 hingga 0,65 tergantung pada kebutuhan seseorang mempresentasikan diri pada tiap situasi (Paulhus, 1988).
Dari penelitian Paulhus (1988) didapatkan koefisien alpha berkisar antara 0,69 – 0,80 untuk Skala Penipuan Diri BIDR dan 0,75 – 0,86 untuk skala Manajemen Impresi BIDR, koefisien alpha BIDR keseluruhan adalah 0,83 (Camillus, 2007). Paulhus (1991) memberikan nilai konsistensi internal alpha cronbach dan reliabilitas tes ulang BIDR sebesar 0,65 dan 0,69 (Djikic, dkk, 2004). Graham, (2003) di dalam penelitiannya mendapatkan nilai konsistensi internal untuk skala Manajemen Impresi BIDR sebesar 0,70 dan untuk skala Penipuan Diri sebesar 0,67. Nilai reliabilitas tes ulang dengan jangka waktu 4 minggu adalah 0,84 untuk Skala Manajemen Impresi dan untuk skala Penipuan Diri BIDR sebesar 0,76. Pada kelompok sampel kedua, nilai internal konsistensinya adalah sebesar 0.75 untuk Skala Manajemen Impresi BIDR dan 0,64 untuk Skala Penipuan Diri. Penelitian yang dilakukan (Derkzen, 2007) mendapatkan hasil reliabilitas Alpha Cronbach untuk skala Manajemen Impresi BIDR pada sampel mahasiswa yang telah lulus sebesar 0,75 dan untuk sampel para penghuni penjara sebesar 0,84.
Skala Harga Diri Rosenberg. Skala harga diri Rosenberg telah diterjemahkan ke dalam 28 bahasa dan telah digunakan pada lebih dari 16.998 partisipan di 53 negara. Menurut Rosenberg (1979), harga diri adalah penilaian seseorang yang menyeluruh tentang kebernilaian dan nilai dirinya yang dapat bernilai positif dan negatif (Jonathan, 2008). Sedangkan menurut Whidey (1983) dalam Lynda (1989), harga diri secara umum meliputi beberapa aspek, yaitu penilaian seseorang mengenai berbagai hal, seperti perasaan selalu tercukupi kebutuhannya dan kebermaknaan diri, perasaan menjadi orang baik atau jahat, penampilan fisik, kemampuan personal, dan daya tarik seksual. Skor Skala Harga Diri Rosenberg berkorelasi dengan neurotis, ekstraversi, dan keromantisan. Skala Harga Diri 10 aitem dari Skala Harga Diri Rosenberg mengukur harga diri (Rosenberg, 1979). Jawaban dinilai ke dalam 4 poin skala mulai dari sangat tidak setuju hingga sangat setuju. Skala harga diri Rosenberg memuat jumlah aitem yang seimbang antara aitem yang positif (individu merasa puas dengan kehidupannya) dan aitem negatif ( individu merasa gagal) (Schmitt, 2005). Validitas konkuren skala Harga Diri Rosenberg ditjunjukkan dengan korelasi skala ini dengan Skala Harga Diri Coopersmith bentuk pendek adalah rxy = 0,60 (Robinson & Shaver, 1973 dalam Azwar, 2008). Skala Harga Diri Rosenberg juga menunjukkan validitas diskriminan dengan nilai korelasi skala ini dengan Skala Kepatutan Marlowe Crowne rxy = – 0,428 (p = 0,05) (Kirchner, 2003). Penelitian Chubb, Fertman, dan Ross (1997) menghasilkan koefisien reliabilitas tes-ulang dengan interval 2 minggu menggunakan sampel 2 kelompok mahasiswa, sampel pertama menghasilkan koefisien reliabilitas sebesar 0,85 dan sampel kedua menghasilkan koefisien reliabilitas sebesar 0,88 (Kirchner, 2003).
Penelitian Oelofse (1996) tentang Skala Harga Diri Rosenberg memberikan data tentang rerata skala ini sebesar 34,2 (SD= 4,47) dengan sampel lulusan mahasiswa amerika, 33,7 (SD = 4,82) dengan sampel lulusan mahasiswa amerika kulit hitam, 32,4 (SD = 4,68) dengan sampel lulusan mahasiswa amerika kulit putih, dan 28,2 (SD= 4,98) dengan sampel lulusan mahasiswa amerika dari etnis China (Kirchner, 2003). Skala Harga Diri Rosenberg memiliki rerata sebesar 28,70 (SD = 4,256) dengan responden berkulit putih. Sedangkan pada responden kulit hitam skala ini memiliki rerata sebesar 31,33 (SD = 3,452). (Kirchner, 2003).
Skala Harga Diri Coopersmith. Skala Harga Diri Coopersmith (Coopersmith, 1989 dalam Azar) didesain untuk mengukur sikap responden tentang keadaan diri dalam situasi pribadi, pergaulan sosial, keluarga, dan pengalaman di lingkungan sekolah. Harga diri sering didefinisikan sebagai penilaian menyeluruh positif yang dimiliki seseorang, yang secara umum menetap tidak tergantung pada situasi yang ada (Heine, dkk, 1999). Harga diri didefinisikan sebagai penerimaan diri terhadap keadaan lingkungan sosialnya (Blascovich, dkk, 1991). Coopersmith (1981) menyatakan bahwa harga diri diperoleh dari penilaian yang diberikan oleh orang lain, persepsi personal, dan perilaku orang lain (Aponte. 2004). Kebanyakan 50 aitem tentang Harga Diri untuk Bentuk Sekolah ini diadaptasi dari aitem pada skala yang digunakan oleh Rogers and Dymond (1954) dalam penelitian klasik tentang psikoterapi non-direktif. Inventori Harga Diri Coopersmith Bentuk Dewasa diadaptasi dari bentuk pendek yang digunakan untuk subjek yang berusia diatas 15 tahun. Bentuk Dewasa ini terdiri dari 25 aitem, yang kebanyakan berasal dari aitem dari Bentuk Sekolah yang diseleksi. Bentuk Dewasa ini terdiri atas 2 respon jawaban yaitu positif dan negatif. Untuk semua jawaban, subjek akan membaca pernyataan-pernyataan tentang meraka, sehingga subjek akan menjawab “ Sesuai dengan Diri Saya” . Jika pernyataan tersebut tidak mencerminkan perasaan yang biasanya mereka rasakan, maka subjek akan memilih “Tidak Mencerminkan Diri Saya”. Oleh karena itu, respon subjek untuk setiap pernyataan dikelompokkan ke dalam 2 kelompok jawaban yaitu “ Sesuai dengan Diri Saya” dan “Tidak Mencerminkan Diri Saya”. Skor yang rendah menunjukkan rendahnya harga diri dan skor yang tinggi menunjukkan harga diri yang tinggi (Azwar).Validitas konkuren skala Harga Diri Coopersmith bentuk pendek adalah rxy = 0,60 dengan menggunakan kriteria Skala Self-Esteem Rosenberg (Robinson & Shaver, 1973 dalam Azwar). Koefisien reliabilitas skala asli yang diuji lewat pendekatan tes-ulang dengan tenggang waktu 5 minggu adalah rxx’ = 0,70 (Coopersmith, 1968). Reliabilitas skala versi bahasa Indonesia dilaporkan adalah rxx’ = 0,530 dengan n = 394 siswa SMP (Yuniarti, 1988). (Azwar).
HASIL
Penelitian ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, dan penulisan laporan akhir penelitian. Tahap persiapan dilakukan dengan cara menentukan skala psikologis yang berhubungan dengan tema penelitian. Peneliti menggunakan 4 skala psikologis, antara lain Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne, Skala BIDR ( Skala Manajemen Impresi dan Skala Penipuan Diri BIDR), Skala Harga Diri Rosenberg, dan Skala Harga Diri Coopersmith. Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne dan Skala BIDR ( Skala Manajemen Impresi dan Skala Penipuan Diri BIDR) masih dalam versi aslinya sehingga penulis harus melakukan adaptasi ke dalam bahasa Indonesia terlebih dahulu, sedangkan Skala Harga Diri Rosenberg dan Coopersmith telah tersedia dalam versi bahasa Indonesia. Penulis melakukan proses adapatasi Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne dan Skala BIDR (Skala Manajemen Impresi dan Skala Penipuan Diri BIDR) pertama dimulai dengan memilih penterjemah yang memiliki kapasitas untuk menterjemahkan kedua skala tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Setelah peneliti mendapatkan hasil terjemahan kedua skala tersebut, selang 2 hari kemudian peneliti dan penterjemah melakukan proses penterjemahan ulang dengan tujuan untuk mendapatkan skala yang seimbang dengan versi aslinya.
Setelah melakukan beberapa proses evaluasi dengan cara membandingkan skala Kepatutan Marlowe Crowne dan Skala BIDR ( Skala Manajemen Impresi dan Skala Penipuan Diri BIDR) dalam versi bahasa Indonesia, peneliti kemudian mengkonsultasikan bentuk terjemahan tersebut dengan pembimbing skripsi untuk mengevaluasi kata-kata dan ungkapan jika kurang sesuai dengan arti yang mengandung aspek psikologis dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini bertujuan agar responden yang nantinya akan menggunakan skala ini dapat memahami dengan baik setiap pernyataan dalam skala ini. Setelah skala Kepatutan Marlowe Crowne dan Skala BIDR ( Skala Manajemen Impresi dan Skala Penipuan Diri BIDR) dalam versi Indonesia dievaluasi, kemudian peneliti mencobanya pada 25 responden. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah skala tersebut dapat dipahami dengan baik oleh para responden. Dari uji coba ini penulis mengetahui bahwa para responden tersebut memahami setiap pernyataan dalam skala yang diberikan. Pada tahap pelaksanaan penelitian, peneliti meminta responen untuk mengisi skala dengan tidak menyebutkan nama asli. Hal ini dimaksudkan agar data yang penulis dapatkan benar-benar mencerminkan keadaan diri responden sebenarnya. Penelitian dilakukan di Fakultas Psikologi dengan melibatkan mahasiswa sebagai responden penelitian. Peneliti mendapatkan subjek penelitan melalui kegiatan setelah perkuliahan berlangsung. Peneliti meminta responden untuk mengisi skala psikologis tersebut di ruang kelas maupun meminta subjek untuk mengisi skala tersebut diluar berlangsungnya kegiatan perkuliahan.
Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne dalam penelitian ini memiliki rerata yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan data penelitian yang penulis dapatkan sebelumnya yaitu sebesar 19,9096 ( SD = 4,40593). Penelitian Robinson (1991) mendapatkan rerata skor skala ini berkisar antara 12,3 (SD = 4,3) sampai dengan 18,85 (SD = 4,445). Peneltian lain yang menggunakan Skala Kepatutan Marlowe Crowne dengan subjek orang Indonesia (Widhiarso & Suhapti, 2007) mendapatkan hasil rerata = 11,3725 (SD = 2,32047). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa subjek relatif menjawab pertanyaan berdasarkan kepatutan sosial dan harapan mereka,meski nama subjek telah disamarkan dengan inisial.
Tabel 2 Statistik Deskriptif Korelasi Hasil Pengukuran
No | Skala | 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 |
1 | Kepatutan Sosial Marlowe Crowne | 1 | |||||
2 | Manajemen Impresi BIDR | 0,567 | |||||
3 | Penipuan Diri BIDR | 0,466 | 0,388 | ||||
4 | BIDR keseluruhan | 0,624 | 0,860 | 0,804 | |||
5 | Harga Diri Coopersmith | 0,462 | – 0,259 | – 0,396 | – 0,386 | ||
6 | Harga Diri Rosenberg | 0,337 | 0,285 | 0,644 | 0,540 | 0,694 | 1 |
** Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan 0.01
Dari tabel diatas dapat kita ketahui didapatkan korelasi antara Skala Kepatutan Marlowe Crowne dengan BIDR sebesar 0,624. Landasan dalam menetapkan suatu tes dikatakan memiliki validitas konvergen adalah bahwa suatu tes yang direncanakan untuk mengukur konstrak yang sama akan mempunyai korelasi yang tinggi. Dapat dikatakan bahwa nilai korelasi antara Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne dan BIDR sebesar 0,624 ( r = 0,624) telah memenuhi kriteria bahwa kedua alat ukur tersebut memiliki validitas konvergen yang memadai. Secara operasional kriteria ini bisa juga dikatakan bahwa harga r harus lebih besar atau sama dengan 0,30 ( r ≥ 0,30). Batasan besarnya harga validitas ini berdasar professional judgment, seperti yang disarankan Azwar (1992). Batasan dibawah 0,30 biasanya dianggap kurang memuaskan (Prakosa, 1995).
Nilai korelasi antara skor Skala Kepatutan Marlowe Crowne dan BIDR menunjukkan bahwa kedua skala tersebut mengukur suatu konstrak yang sama, yaitu mengukur aspek Kepatutan Sosial sebagaimana dasar teoritis yang menyatakan bahwa tes yang direncanakan untuk mengukur konstrak yang sama akan mempunyai korelasi yang tinggi. Namun begitu nilai korelasi antara Skala Kepatutan Marlowe Crowne dengan Skala BIDR sebesar 0,624 ternyata lebih rendah dari penelitian sebelumnya yang dilakukan Paulhus, yang menghasilkan korelasi antara kedua skala tersebut r = 0,71 (Crowne & Marlowe, 1960; Paulhus, 1991 dalam Graham, 2003).
Data mengenai validitas diskriminan Skala Kepatutan Marlowe Crowne didapatkan dari perhitungan korelasi antara skala ini dengan Skala Harga Diri Rosenberg sebesar 0,337, dengan inventori Coopersmith adalah 0,462. Sesuai dengan kriteria validitas yang baik bahwa harga r harus lebih besar atau sama dengan 0,30 ( r ≥ 0,30) (Azwar, 1992 dalam Prakosa, 1995). Batasan nilai kriteria validitas tersebut adalah untuk validitas konvergen, dimana kedua skala yang dibandingkan mengukur konstrak yang sama, sedangkan untuk mengukur validitas diskriminan nilai kriteria ini justru sebaliknya. Validitas diskriminan ditunjukkan dengan nilai korelasi dibawah 0,30. Hal ini sesuai dengan dasar pemikiran bahwa tes yang direncanakan untuk mengukur konstrak yang berbeda mempunyai korelasi yang rendah. Nilai korelasi antara Skala Kepatutan Sosial dan Skala Harga Diri Rosenberg sebesar 0,337 dan dengan Coopersmith sebesar 0,462, dari hasil korelasi ini dapat kita lihat bahwa Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne kurang memenuhi validitas diskriminan yang baik. Karena seharusnya tes yang direncanakan untuk mengukur konstrak yang berbeda mempunyai korelasi yang rendah. Untuk dapat dikatakan memiliki validitas diskriminan yang baik Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne seharusnya memiliki korelasi yang rendah dengan Skala Harga diri Rosenberg dan Coopersmith.
Selain itu dapat pula kita katakan bahwa nilai korelasi Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne dengan 2 Skala lainnya, yaitu Rosenberg dan Coopersmith sebesar 0,337 dan 0,462 menunjukkan bahwa jawaban responden pada skala Rosenberg dan Coopersmith tercemari oleh jawaban yang sengaja dibuat oleh responden untuk memperoleh skor tinggi, maka dapat dikatakan bahwa jawaban pada kedua skala tersebut mengandung bias kepatutan sosial. Selain data mengenai validitas konvergen dan diskriminan dari Skala Sosial Marlowe Crowne, dari tabel 2 juga diketahui korelasi antara BIDR dengan Skala Harga Diri Rosenberg, rxy = 0,540 dan nilai korelasi antara BIDR dengan Skala Harga Diri Coopersmith, rxy = 0,517.
Sesuai dengan kriteria validitas yang baik bahwa harga r harus lebih besar atau sama dengan 0,30 ( r ≥ 0,30). Batasan besarnya harga validitas ini berdasar professional judgment, seperti yang disarankan Azwar (1992). Koefisien validitas kurang dari 0,30 biasanya dianggap kurang memuaskan (Prakosa, 1995). Kriteria batasan korelasi diantara dua skala tersebut berlaku untuk mengukur nilai validitas konvergen yang mengukur dua konstrak yang sama. Sedangkan untuk mengukur validitas diskriminan batasan kriteria tersebut justru berlaku sebaliknya, karena pada prinsipnya, suatu tes yang direncanakan untuk mengukur konstrak yang berbeda mempunyai korelasi yang rendah.
Nilai korelasi antara BIDR dengan Skala Harga Diri Rosenberg dan Coopersmith tidak memenuhi kriteria tersebut. Hal ini karena BIDR mengukur konstrak yang jelas berbeda dengan Skala Harga Diri Rosenberg dan Coopersmith, namun nilai korelasinya adalah sebesar rxy = 0,540 dengan Skala Harga Diri Rosenberg dan rxy = 0,517 dengan Skala Harga Diri Coopersmith, seharusnya korelasi diantara skala tersebut bernilai rendah, yaitu dibawah 0,30. Penelitian ini juga memperkaya data mengenai validitas konvergen Skala Harga Diri Rosenberg dan Coopersmith. Dari hasil analisis tambahan ini dapat dikatakan bahwa Skala Harga Diri Rosenberg dan Coopersmith memiliki validitas konvergen yang baik. Hal ini dikarenakan korelasi kedua alat tes tersebut adalah sebesar 0,694. Sesuai dengan kriteria mengenai validitas yang baik yaitu bahwa harga r harus lebih besar atau sama dengan 0,30 ( r ≥ 0,30). Batasan besarnya harga validitas ini berdasar professional judgment, seperti yang disarankan Azwar (1992). Koefisien validitas kurang dari 0,30 biasanya dianggap kurang memuaskan (Prakosa, 1995). Korelasi yang cukup tinggi antara Skala Harga Diri Rosenberg dan Coopersmith memenuhi kriteria bahwa suatu tes yang direncanakan untuk mengukur konstrak yang sama akan mempunyai korelasi yang tinggi, sehingga dapat dikatakan bahwa kedua alat tes tersebut memiliki validitas konvergen yang baik.
Diskusi
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan validasi terhadap Skala Kepatutan Sosial Marlowe-Crowne pada subjek yang memiliki karakteristik bahasa dan budaya Indonesia. Penelitian ini memiliki beberapa kelemahan secara metodelogis. Dalam pengujian validitas konvergen skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne ini, peneliti hanya menggunakan Skala Manajemen Impresi dan Penolakan Diri BIDR, akan lebih baik lagi jika pada penelitian ini digunakan skala tambahan yang mengukur konstrak bias kepatutan sosial, seperti Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne, sehingga dapat diketahui korelasi yang lebih lengkap dengan Skala Kepatutan Marlowe Crowne yang tentu saja memberikan data mengenai validitas konvergen yang lebih lengkap pula.
Penelitian ini juga memiliki kelemahan terkait dengan aspek demografis responden. Responden penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Psikologi yang pada umumnya memiliki pemahaman mengenai skala psikologis. Dengan menggunakan responden seperti ini mengakibatkan timbulnya bias respon karena disebabkan responden mengetahui apa yang diukur oleh skala psikologis yang diberikan. Hal ini akan menyebabkan rendahnya validitas diskriminan skala kepatutan sosial Marlowe crowne, karena dengan mengetahui apa yang diukur oleh skala psikologis, subjek cenderung akan memberikan skor jawaban tinggi pada Skala Harga Diri Rosenberg dan Coopersmith, sehingga korelasi Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne dengan Skala Harga Diri Rosenberg dan Coopersmith menjadi tinggi yang menurunkan validitas diskriminannya. Namun begitu, pemilihan mahasiswa Fakultas Psikologi juga memiliki sisi positif, karena pemahanan responden terhadap skala psikologis juga menyebabkan responden memberikan skor tinggi pada Skala Kepatutan Sosial Marlowe Crowne, Skala Manajemen Impresi dan Penipuan Diri BIDR. Hal ini akan menyebabkan korelasi diantara skala tersebut tinggi yang pada akhirnya meningkatkan nilai validitas konvergen skala yang mengukur aspek bias kepatutan sosial.
Tidak dilibatkanya variabel demografis dalam analisis penelitian ini menjadi kekurangan bagi penelitian yang bertujuan untuk menggali data secara menyeluruh terutama dalam hal validasi skala ke dalam bahasa dan budaya yang berbeda. Dalam penelitian ini kebanyakan subjek berasal dari suku Jawa, hanya..persen yang berasal dari suku non-Jawa. Peneliti memberikan saran agar peneliti lain yang akan melakukan penelitian mengenai validasi suatu skala, terutama skala yang mengukur bias kepatutan sosial dalam bahasa Indonesia, akan lebih baik jika responden berasal dari berbagai suku di Indonesia dengan persentase yang berimbang, sehingga dapat dilakukan analisis perbandingan antar budaya dan didapatkan nilai validitas yang mewakili budaya Indonesia secara keseluruhan. Beberapa penelitian yang dilakukan di negara lain, khususnya di negara barat, telah menemukan adanya kecenderungan memberikan respon menipu sesuai dengan kepatutan sosial dilihat dari sisi variabel demografis. Hasil dari penelitian tersebut perlu dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan dalam konteks budaya timur, khususnya budaya Indonesia.
Daftar Pustaka
DAFTAR PUSTAKA
Aponte, Glenda. 2004. Ethnic Identity and Self-Esteem Among High School Students. Connecticut. Central Connecticut State University.
Azar, Irandokht & Vasudeva, Promila. Self-Efficacy and Self-esteem: A Comparative Study of Employed and Unemployed Married Women in Iran. the German Journal of Psychiatry.
Azwar, Saifuddin. 2008. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Azwar, Saifuddin. 2003. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Bäckström, Martin; Björklund, Fredrik; Hansson, Sven B.; Bern, Dina; Westerlundh, Bert. What makes some persons more prejudiced than others? Modeling the role of social dominance, empathy, social desirability, and gender. Lund, Sweden: Department of Psychology, Lund University.
Barker, Nikki; Yates, Sylvia James. 2005. The Changing Nature of The British Army Continuous Attitude Surveys. The Directorate of Army Personnel Strategy. Wiltshire, UK: British Crown
Blanchard, D.; McGrath, R.; Pogge, L.; Khadivi, A. 2003. A Comparison of the PAI and MMPI–2 As Predictors of Faking Bad in College Students. Journal of Personality Assessment, 80(2), 197–205. 2003, New York: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Barlett, C. J.; Doorley, Richard. Social Desirability Response Differences Under Research, Simulated Selection, and Faking Instructional Sets. Maryland: University of Maryland.
Beere, Donald B; Pica, Michael; Maurer, Lara. 1996. Social Desirability and The Dissociative Experiences Scale. Dissociation, Vol. IX, No.2, June 1996. presented at the 104th Annual Convention of the American Psychological Association, Toronto, August 11, 1996. Michigan: Psychology Department, Central Michigan University.
Beretvas, Natasha. Meyers, Jason. Leite, Walter. 2002. A Reability Generalization Study of The Marlowe-Crowne Social Desirability Scale. Educational and Psychological Measurement. Vol.62. No.4, August 2002; 570-589.
Blake, Brian F.; Valdiserri, Jillian; Neuendorf, Kimberly A.; Nemeth, Jacqueline. 2005. Validity of the SDS-17 Measure of Social Desirability in the American Context. Research Reports in Consumer Behavior. November 2005. America: Marketing Strategies Inc.
Camillus, Courtney. 2007. To E- or not to E-: An Analogue Study of Disclosure Rates in E-Counseling Dissertation. Ohio State University.
Chan, Kim-Yin; Lee, Wayne C; Drasgow, Fritz. 2001. Effects of the Testing Situation on Item Responding: Cause for Concern Stephen Stark and Oleksandr S. Chernyshenko. University of Illinois at Urbana-Champaign. Journal of Applied Psychology 2001, Vol. 86, No. 5, 943-953. America: American Psychological Association, Inc.
Cuellar, Rafael. 2005. The Validation of The Anger Implicit Association Test. Texas A&M University.
Collazo, Andreas. 2005. Translation of The Marlowe-Crowne Social Desirability Scale into an Equivalent Spanish Version. Educational and Psychological Measurement. 2005; 65; 780.
David A, Scott. 2004. A Character Education Program: Moral Development, Self-Esteem and At-Risk Youth. North Carolina State University.
Derkzen, Dena. 2007. Impulsivity, Social Problem Solving and Alcohol Dependency as Contributors to Aggression in a Sample of Provincially incarcerated Offenders. University of Saskatchewan Saskatoon.
Deniz, Ones; Viswesvaran, Chockalingam; Reiss, Angelika. 1996. Role of Social Desirability in Personality Testing for Personnel Selection: The Red Herring. presented at the 10th Annual Meeting of the Society of Industrial. Journal of Applied Psychology. VoI. 81, NO. 6, 660-679. Psychology, Orlando, Florida. Minnesota: American Psychological Association, Inc.
Dilchert, Stephan; Ones, Deniz; Viswesvaran, Chockalingam; Deller, Jurgen. 2006. Response distortion in personality measurement: born to deceive, yet capable of providing valid self-assessments? Psychology Science, Volume 48, 2006 (3), p. 209-225. Miami: Department of Psychology, Florida International University.
Djikic, Maja. dkk. 2004. Attentional biases and memory distortions in self-enhancers Department of Psychology. University of Toronto Ontario. Canada. Personality and Individual Differences 38 (2005) 559–568.
Donald; Pica, Michael; Maurer, Lara. 1996. Social Desirability and The Dissociative Experiences Scale. Dissociation, Vol. IX, No.2, June 1996. presented at the 104th Annual Convention of the American Psychological Association, Toronto, August 11, 1996. Michigan: Psychology Department, Central Michigan University.
Douglas N.; Wroblewski, Victor R.; Ashton, Michael C. 2000. The Impact of Faking on Employment Tests: Does Forced Choice Offer a Solution? Human Performance, 13(4), 371–388. Ontario, Canada: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Douglas, Elizabeth F.; McDaniel, Michael A.; Snell, Andrea F. 1996. The Validity of Non-Cognitive Measures Decays When Applicants Fake. Paper published in the Academy of Management Proceedings (August, 1996). Winner of the Best Paper Award for the Human Resource Division. Akron: Department of Psychology, University of Akron.
Egloff, Boris; Schmukle, Stefan C. 2002. Predictive Validity of an Implicit Association Test for Assessing Anxiety. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 83, No. 6, 1441–1455. America: American Psychological Association, Inc.
Gavin, Gregory. 2001. Non-volitional Faking on a Personality Measure: Testing the influence of Unconscious Processes. Thesis. Blacksburg, Virginia: Psychology Department, Faculty of the Virginia Polytechnic Institute and State University.
Glenda D.; Aponte, Burgos. 2004. Ethnic Identity and Self-Esteem Among High School Students. New Britain, Connecticut . Central Connecticut State University.
Gordon, Randall. 1987. Social Desirability Bias : A Demonstration and Technique for Its Reduction. Journal Teaching of Psychology. Vol. 14, No.1, February 1987. Carolina: Western Carolina University.
Graham, Erin. 2003. Development of The Eating Habits Questionnaire. Texas : A&M University.
Graham, Kenneth E.; McDaniel, Michael A.; Douglas, Elizabeth F.; Snell, Andrea F. 2002. Biodata Validity Decay and Score Inflation With Faking: Do Item Attributes Explain Variance Across Item. Journal of Business and Psychology, Vol. 16, No. 4, Summer 2002. Leavenworth, America: Human Sciences Press, Inc.
Hadi, Sutrisno. 1994. Metodologi Research. Jilid 2. Penerbit Andi Offset. Yogyakarta.
Hambleton, Ronald. 2005. Adapting Educational and Psychological Test for Cross-Cultural Assessment. New Jersey: Lawrence Erlbraum Associates Inc., Publisher.
Hambleton, Ronald. Patsula, Liane. 2000. Adapting Test for Use in Multiple Language and Culture. Laboratory of Psychometric and Evaluative Research Report. Massachussets University.
Harris, Sandra Latrice. 2009. The Relationship Between Self-Esteem and Academic Success among African American Students in the minority Engineering Program at A Research Extensive University in the Southern Portion of the United States. Louisiana State University and Agricultural and Mechanical College.
Holden, Ronald R; Kroner, Daryl G.; Fekken, G.; Cynthia; Popham; Suzanne. 1992. A Model of Personality Test Item Response Dissimulation. Journal of Personality and Social Psychology. No 2. 272-2. 1992. America: American Psychological Association, Inc.
Holden, Ronald R; Wood, Lisa L; Tomashewski, Leah. 2001. Do Response Time Limitations Counteract the Effect of Faking on Personality Inventory Validity? Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 81, No. 1, 160-169. America: American Psychological Association, Inc.
- Ray, John; Lovejoy, Frances H. 2003. Age-related social desirability responding among Australian women. The Journal of Social Psychology; Oct 2003; 143, 5; ProQuest Medical Library pg. 669-671.
Jackson, Douglas N; Wroblewski, Victor R; Ashton, Michael C. 2000. The Impact of Faking on Employment Tests: Does Forced Choice Offer a Solution?. Human Performance , 13(4), 371–388. Canada: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Jonathan, Bronwyn. 2008. The Effects Participation in Movement Programs on the Movement Competence. Self-Esteem and Resiliency of Adolescent Girls. Stellenbosch University.
Joinson, Adam. 1999. Social desirability, anonymity, and Internet-based questionnaires. Behavior Research Methods, Instruments, & Computers. 1999, 31 (3), 433-438. Pontypridd, Wales: Psychonomic Society, Inc.
Judd, Michael. 2009. Religious Orientation, Context Effects, and Socially Desirable Responding. Thesis. Marietta College.
Klesges, Lisa M.; Baranowski, Tom; Beech, Bettina; Cullen, Karen. M.; Murray, David; Rochon, Jim; Pratt, Charlotte. 2004. Social desirability bias in self-reported dietary, physical activity and weight concerns measures in 8- to 10-year-old African-American girls: results from the Girls health Enrichment Multisite Studies (GEMS). Preventive Medicine 38 (2004) 78-87. USA: Elseiver Science Direct.
Kirchner, Marthina. 2003. The Relationship Between Locus of Control and Academic achievement among at risk students. Thesis. University of Pretoria.
Laughland, Andrew. Musser, Wesley. Musser, Lynn. 1994. An Experiment in Contingent Valuation and Social Desirability. Agricultural and Resource Economics Review, Purdue University.
Lee, So Yon. 2005. A Conceptual Model of the Roles of Price, Quality, and Intermediary Constructs in Determining Behavioral Intention to Visit a Festival. Dissertation. Texas A&M University.
Loo, Robert; Wudel, Pam. 1979. Estimates of Fakeability on the Eysenck Personality Questionnaire. Journal Social Behavior and Personality, 7 (2): 157-160 (1979) Society for Personality Research (Inc.). University of Calgary.
Lönnqvist, Jan-Erik. 2008. Issues in socially desirable responding and personality research. University of Helsinki. Finland.
Magnus, Jessica M.; Viswesvaran, Chockalingam; Deshpande, Satish. 2006. Social desirability: the role of over-claiming, self-esteem, and emotional intelligence. Psychology Science, Volume 48, 2006 (3), p. 336-356. Florida: Department of Psychology, Florida International University.
Matthews, B.; Alex; Baker, Frank; Spillers, Rachel L. 2003. How True Is True? Assessing Socially Desirable Response Bias. Quality & Quantity 37: 327–335, 2003. Netherlands: Kluwer Academic Publishers.
Nancarrow, Clive; Brace, Ian. 2000. Saying the “right thing”: Coping with Social Desirability Bias in Marketing Research. Bristol Business School Teaching and Research Review Issue 3, Summer, 2000. Bristol: Bristol Business School.
Naudé, Luzelle. 2007. Service-learning and student development: the role of critical reflection. Department of Psychology, Faculty of Humanities, University of the Free State.
Nolder, Mark. 1990. Exploration of The Defense Mechanism Inventory: Relationship to Self-Deception, Anxiety, and Intelligence. Dissertation. Texas Tech University.
Paulhus, D. L. 1988. Assessing self deception and impression management in self-reports: the Balanced Inventory of Desirable Responding, Department of Psychology. University of British Columbia. Vancouver, B.C. Canada.
Plowman, Suzanne. 2008. Self-Esteem as A Predictor of Treatment Outcome Among Women with Eating Disorder. Department of Counseling Psychology and Special Education Brigham Young University.
Prakosa, Heru. 1995. Menetapkan Validitas Konvergen dan Divergen Dalam Matriks Multitrait-Multimethod (MTMM). Buletin Psikologi, Hal.29-40 Nomor III, Tahun 2, Desember 1995.
Razavi, Tiffani. Self-report measures: An overview of concerns and limitations of questionnaire use in occupational stress research. School of Management. University of Southampton.
Robinson. Shaver. Wrightman. 1991. Measures of Personality and Social Psychological Attitudes. San Diego: Academic Press.
Ryan, Ann Marie; Ellis, Aleksander; McFarland, Lynn A. 2002. Item Placement on a Personality Measure: Effects on Faking Behavior and Test Measurement Properties. Journal of Personality Assessment, 78(2), 348–369. America: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Sandberg, Monika. 2008. Eating and Substance Use: A Comparison of Latter-Day Saint and Non-Latter-Day Saint College-Age Females. Department of Psychology.
Schmitt, David. 2005. Simultaneous Administration of the Rosenberg Self-Esteem Scale in 53 Nations: Exploring the Universal and Culture-Specific Features of Global Self-Esteem. Journal of Personality and Social Psychology Copyright 2005 by the American Psychological Association 2005, Vol. 89, No. 4, 623–642.
Smith, David H. 1999. Correcting For Social Desirability Response Sets in Opinion-Attitude Survey Research. Journal of Mental Health, Religion & Culture, Volume 2, Number 2, 1999.
Smith, D.; Brent; Ellingson, Jill E. 2002. Substance Versus Style: A New Look at Social Desirability in Motivating Contexts. Journal of Applied Psychology 2002, Vol. 87, No. 2, 211–219. America: American Psychological Association, Inc.
Spann, Lynda. 1989. Developing A Scale to Measure Codependency. Texas Tech University.
Stark, Stephen; Chernyshenko, Oleksandr S.; Chan, Kim-Yin; Lee, Wayne C.; Drasgow, Fritz. 2001. Effects of the Testing Situation on Item Responding: Cause for Concern. Journal of Applied Psychology. Vol. 86, No. 5, 943-953. America: American Psychological Association, Inc.
Steffens, Melanie C. 2004. Is the Implicit Association Test Immune to Faking? Experimental Psychology 2004; Vol. 51(3): 165-179. Germany: Hogrefe & Huber Publishers.
Thornton, George; Gierasch, Paul. 1980. Fakability of an Empirically Derived Selection Instrument. Journal of Personality Assessment. 1980. 44, 1. Colorado: Colorado State University.
Turner, Marcée. 2007. Multicultural Teacher Attitudes and Cultural Sensitivity: An Initial Exploration of the Experiences of Individuals in a Unique Alternative Teacher Certification Program. Thesis. University of Notre Dame.
Van Herk, Hester; Poortinga, Ype H.; Verhallen, Theo M.M. Response Styles in Rating Scales, Evidence of Method Bias in Data From Six EU Countries. Amsterdam: Vrije Universiteit Amsterdam.
Villares, Elizabeth. 2004. A Career Counseling Unit for Teenage Girls University of Florida.
Walizer, Michael. Wiener, Paul. Sadiman, Arief (penterjemah). 1991. Metode dan Analisis Penelitian Mencari Hubungan. Jilid 2. Erlangga. Jakarta.
Whelan, Thomas. 2008. Effects of Survey Modality and Access Controls on Perceived Anonymity and Socially Desirable Responding. North Carolina State University, North Carolina.
Widhiarso, Wahyu & Suhapti, Retno. 2007. Eksplorasi Karakteristik Item Skala Psikologis yang Rentan terhadap Tipuan Respon. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Yang, Jianxiang. 2007. A Cross-Cultural Comparison of Self-Perception Among American and Chinese Secondary School Students. Department of Educational Psychology, Miami University. Oxford, Ohio: Miami University.
Zickar, Michael J.; Gibby, Robert E.; Robie, Cheet. 2004. Uncovering Faking Samples in Applicant, Incumbent, and Experimental Data Sets: An Application of Mixed-Model Item Response Theory. Organizational Research Methods, Vol. 7 No. 2, April 2004 168-190. Sage Publications.