Pengembangan Framework Baru Tes Potensi

Fakultas Psikologi UGM memiliki tes potensi akademik yang bernama tes potensi akademik Pascasarjana (PAPS) yang merupakan instrumen pengukuran yang dipakai secara intensif dalam proses seleksi calon mahasiswa pascasarjana di lingkungan UGM. Tes ini dikembangkan semenjak tahun 2008 oleh dosen-dosen di Fakultas Psikologi UGM. Hingga kini tes tersebut masih dipakai oleh UGM dalam menyeleksi calon mahasiswa pascasarjana di lingkungan UGM. Tes ini setiap tahun dievaluasi dan diadministrasikan oleh Unit Pengembangan Alat Psikodiagnostika (UPAP). Hasil evaluasi yang dilakukan menunjukkan bahwa Tes PAPS memiliki validitas yang memuaskan. Namun demikian, Tes PAPS memiliki potensi untuk meningkatkan kualitasnya dari aspek yang lain untuk mengakomodasi tuntutan dan relevansi perubahan zaman.

Perkembangan tes potensi di dunia pada saat ini mengalami perkembangan yang pesat karena senantiasa mengakomodasi perubahan zaman. Penggunaan tes potensi mengalami revolusi pada tahun 2000an ketika rektor University of California tidak menggunakan tes potensi dalam proses admisi calon mahasiswa yang akan mengikuti program akademik di universitasnya (Lawrence, Rigol, Essen, & Jackson, 2004). Saat itu Richard C. Atkinson sebagai rektor di universitas tersebut menolak untuk menggunakan SAT Reasoning Test dan mulai menggunakan College Admissions Tests (CAT) yang sangat terkait dengan kurikulum. Atkinson berpendapat bahwa tes potensi tidak mendukung individu-individu yang memiliki kemampuan dari hasil belajar yang mereka lakukan. Sebaliknya, tes potensi memberikan kesempatan yang lebih besar terhadap orang yang memiliki kapasitas yang tinggi akan tetapi kurang memiliki pengalaman, wawasan atau pengetahuan yang memadai. Penyebabnya adalah karakteristik dari tes potensi adalah melibatkan materi uji yang tidak terkait banyak dengan materi-materi yang akan dipelajarinya. Dengan karakteristik ini individu yang memiliki skor tinggi adalah individu yang memiliki kemampuan menalar dengan baik menggunakan media verbal, numerik dan figural. Di dalam kemampuan menalar ini di dalamnya memuat penalaran induktif, deduktif dan kuantitatif.

Dalam masyarakat yang mulai serba demokratis Atkinson (Atkinson, 2004) melihat bahwa penerimaan siswa ke perguruan tinggi atau universitas harus didasarkan pada tiga prinsip. Pertama, siswa harus harus dievaluasi berdasarkan prestasi aktual mereka pada pendidikan di awal dan bukan pada bakat yang menurutnya tidak jelas. Kedua, tes yang terstandarisasi harus memiliki hubungan memiliki bukti yang kuat dengan mata pelajaran tertentu yang diajarkan di sekolah. Hal ini akan mendukung bahwa siswa akan dapat menggunakan skor tes mereka untuk mengidentifikasi penguasaan mereka terhadap mata pelajaran tersebut. Ketiga, perguruan tinggi harus menggunakan proses penerimaan yang melihat setiap pelamar dengan segala kompleksitasnya penuh dan selalu berusaha untuk memastikan bahwa tes standar digunakan dengan benar dalam keputusan penerimaan mahasiswa baru.

Permasalahan kedua yang dihadapi oleh tes potensi adalah individu dapat mempelajari trik-trik untuk mendapatkan skor yang tinggi dalam tes potensi padahal seharusnya hal ini tidak boleh terjadi (Everson, 2003). Akibatnya banyak ditemui calon-calon mahasiswa yang ‘belajar’ untuk mendapatkan skor tinggi dengan cara yang tidak mendidik karena mempelajari trik bukan belajar sesuatu yang dapat meningkatkan kemampuan mereka. Misalnya, mempelajari jenis-jenis hubungan dalam butir-butir soal yang berbentuk analogi daripada memahami makna arti sebuah kata.

Dengan adanya kritik yang sangat tajam ini, College Board yang mengembangkan SAT kemudian mengubah spesifikasi dan komposisi tesnya. SAT baru kemudian dikembangkan dan dipublikasikan. Tes tersebut memulai debutnya pada bulan Maret tahun 2005. Butir-butir dengan bentuk lama digantikan dengan butir-butir soal yang mengacu pada bacaan pendek (passage). Butir-butir yang berbentuk analogi verbal yang sebelumnya merupakan bagian dari bagian verbal dimasukkan ke dalam pertanyaan yang berdasarkan bacaan yang diacu. Hal ini menyebabkan butir-butir soal tidak berdiri sendiri (isolated) namun terkait dengan konteks pada makna di dalam kalimat pada bacaan yang diacu. Di sisi lain SAT telah memodifikasi konten matematika yang lebih maju, misalnya menghilangkan butir perbandingan kuantitatif  dengan butir soal yang mengacu pada kasus atau permasalahan yang diangkat di dalam bacaan.

Salah satu hal yang sangat berbeda dengan SAT pada versi-versi sebelumnya adalah semua butir-butir pertanyaan terkait dengan kemampuan literasi dan membaca dengan kritis. Beberapa butir di SAT juga mencakup beberapa pertanyaan mengenai matematika yang memerlukan jawaban “yang diproduksi siswa” (student-produced) yang menjelaskan tidak adanya pilihan jawaban . Di dalam salah satu subtes SAT juga termuat bagian menulis (writing). Bagian ini baru ditambahkan pada SAT yang baru yang mencakup pertanyaan pilihan ganda dan esai. Adanya subtes ini menekankan pada eksplorasi kemampuan individu dalam berkreasi.

Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan tersebut, SAT (Scholastic Aptitude Test) dan CAT (American College Testing) yang merupakan acuan bagi tes admisi di dunia telah mengalami perubahan karena adanya peningkatan aspirasi ke arah baru mengenai tes admisi. Tren teori terkini tidak hanya sekedar mengukur potensi calon mahasiswa tetapi juga mengukur kemampuan spesifik yang dapat membantu kesuksesan mahasiswa di perguruan tinggi. Tes PAPS sebagai tes admisi satu-satunya di Universitas Gadjah Mada juga memiliki potensi untuk meningkatkan kualitas karena adanya perubahan teori atau model yang mutakhir mengenai pengukuran serta aspirasi dari mahasiswa, ahli pendidikan, dan ahli pengukuran mengenai tes admisi saat ini.

Leave A Comment

Your email address will not be published.

*